Selasa, 04 Januari 2022

SEBUAH PILIHAN (1)

 


Setelah lulus dari SMEA/ sekarang SMK aku berniat bekerja. Tak terbesit sedikit pun ada keinginan kuliah mengingat aku dari keluarga biasa saja. Ayahku hanya sebagai juru ketik di pabrik perseroan Ngobo Karangjati sedangkan ibuku hanya berjualan kecil-kecilan di rumah.

Oleh karena itu aku mulai mendaftar di perusahan agar aku bisa menjadi pegawai atau menjadi sekretaris dan bisa membantu orang tua. Saat itu lulusan SMEA sebenarnya akan mudah mendapatkan pekerjaan. Karena memang jarang sekali orang bersekolah sampai sarjana. Namun, belum juga melamar pekerjaan ada saudara dari Ibuku menyarankan untuk kulih singkat di IKIP.

“Sudahlah kamu mendaftar di diploma saja, nanti kamu akan jadi guru, “ ucap beliau, paklik Yadi.

“Nggeh Paklik,” jawabku singkat walaupun agak ragu karena mampukah menjadi guru.  Sambil menunggu pengumuman aku melamar pekerjaan di  perusahaan roti yang terkenal di kotaku. Saya tak memikirkan pekerjaan kantoran. Tujuanya bisa bekerja itu saja.  Dan yang tak bisa terbayangkan saat ini adalah aku mendaftar pekerjaan tanpa membawa apa-apa. Tekadku bulat ingin bekerja. Aku hanya bermodal niat. Karena saat itu perusahaan memang membutuhkan tenaga produksi bukan tenaga berdasarkan skill.

            Pagi itu aku  datang ke pabrik roti sendirian. Depan pabrik itu sangat ramai sekali dengan para pelamar. Para pelamar hanya dikumpulkan di depan pabrik. Kemudian beberapa saat kemudian seorang pemilik pabrik menujuk-unujuk kami yang berdiri. Yang ditunjuk adalah yang diterima sebagai pekerja di pabrik tersebut. Aku pun termasuk yang ditunjuk.

            Pagi harinya aku  berangkat bekerja dan ditempatkan di bagian pengisian roti. Bau roti yang menyengat membuat kepalaku pusing apalagi saat itu bulan puasa. Entahlah aku  yang lulusan SMEA bercampur dengan para wanita yang sebagaian besar tidak seolah atau hanya tamatan SD. Saya enjoy saja. Ketika beberapa orang menegur dengan nada sinis pun kuterima dengan senyum.

            “Mbak… jenengan gak sungguh-sugguh bekerja kan. Besok kalau sudah masuk sekolah pasti berhenti bekerja kan? Tanyanya sambil memasukkan roti ke kaleng. Aku pun hanya senyum karena sampai kapan juga gak tahu.

            Semiggu sudah saya bekerja. Hari Sabtu pun aku  menerima upah dari seminggu, tetapi yang dibayarkan hanya 5 hari. Ini namanya menggantung katanya. Jadi yang sehari dibayarkan minggu depan. Upah berapa aku lupa. Yang aku  ingat ingin bekerja tanpa mikir status jadi apa. Penting memanfaatkan waktu sambil menunggu pengumuman perguruan tinggi. Saya tak banyak berharap saat itu. karena katanya lulusan smea agak sulit msuk perguruan tinggi.

            Selang dua minggu bekerja, ada sesorang yang datang ke rumah. Ternyata orang itu adalah pegawai perusahan tempat kerjaku. Ada apa ini kok sampai datang ke rumah. Setelah berbasa basi si Mbak e itu langsung menyampaikan maksudnya.

            “Mbak yanti, …kedatangan saya ke sini adalah ingin menyampaikan kalau Mbak mulai besok akan saya jadikan pegawai baru bukan lagi di bagian produksi nanti Mbak Yanti membantu saya mengontrol pekerja.

            Haaaa… saya hanya melongo mendengar tutur kata Mbak tadi. Senang campur ragu. Oleh karena itu saya hanya iyakan saja. Keraguan disebabkan

Sebelum bisa menjawab entah kenapa saya memutuskan keluar dari pabrik dan malah pergi bersama tetangga ke pekalongan. Berhari-hari saya ke pekalongan.

Sampai tiba saatnya pengumuman perguruan tinggi. Segera kubeli Koran. Dan tak kusuga jika aku diterima di IKIP semarang. Kegembiraan membuncah. Akhirnya aku  menjadi mahasiswa juga. Jurusan yang ketempuh pun sebenarnya tidak sesuai dengan ijazah yang kuterima di SMEA. Aku mengambil jurusan keterampilan jasa pilihan pertama karena ini sesuai dengan jurusan sekolahku yaitu tata buku. Namun, jurusan bahasa Indonesialah yang diterima. Ya tetap disyukuri. Saya memilih jurusan kedua itu karena kuakui mata pelajaran bahasa Indonesia sangat kusukai. Nilai bahasa Indonesia sejak SMP selalu bagus.

Hanya satu tahun aku  mengenyam di bangku kulaih IKIP N Semarang. Inilah kuliah terpendek saat itu. hanya ditempuh satu tahun. Mungkin untuk perekrutan guru yang saat itu benar-benar dibutuhkan. Namun, hal ini sudah membuat orang tuaku bahagia. Aku bisa mengenyam kuliah.walau hanya diploma satu.

Ibuku mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal kost di semarang. Walaupun rumahku di Ungaran namun tetap aku harus kost karena transportasi amat sulit saat itu. Atas saran tetangga aku pun mendapatkan kost daerah Kelud Selatan Semarang. Hanya beberapa meter dari kampus  Sebuah tas besar dengan aneka kebutuhan siap dibawa. Dengan diantar oleh seorang lelaki, seorang pemuda yang bukan apa-apa dari keluarga kami mengantar sampai di kost. Waktu itu aku manut saja.

Rumah sederhana dan gak terlalu mewah siap aku huni selama kuliah singkat itu. Kalau tidak salah bayar kost hanya 35 ribu selama satu semester. Masih ingat waktu itu bahwa penghuni rumah itu sampai 30 orang. Semuanya putri. Sang pemilik rumah menempati di kamar belakang. Satu kamar dihuni tiga atau empat. Dengan dipan besi tingkat kami tidur. Kamar berukuran 2X3 dihuni oleh 3 orang. Apalagi di Semarang sangat panas sekali. Bisa bayangkan deh…seperti apa. Nah…saat itu aku bertiga dengan Mbak Mei, Mbak N dari jurusan matematika. Mbak Mei orannya gendut sehingga kasur yang tidak terlalu luas tidak bisa kami tempati berdua. Maka aku lebih sering tidur di lantai. Semarang hawanyayang panas. Justru tidur di lantai lebih  nyaman. Walau nyamuk selalu menjadi teman kami.

Sebuah perjuangan singkat kami lalui, dengan bekal yang pas aku harus bisa mengatur uang saku dari orangtua. Setiap pulang kampung, dan kembali ke kost, saya selalu diberi bekal beras, telur juga lauk sehingga saat di kost tidak terlalu banyak pengeluaran. Kadang telur satu saya beri kgandum dan sayuran sehingga bisa untuk makan pagi dan siang. Atau kami dalam satu kamar gentian membeli lauk dimakan bersama satu kamar.

Dalam pergaulan di kost yang baru pertama aku rasakan tentu ada percik-percik. Awalnya memang kami masak bersama. Biasa ada perbedaan pendapat dalam satu kost itu biasa. Entah masalah makan, tempat tidur dan lain-lain.

Kulalui dengan gembira, tawa bersama dalam rangka menjadi guru. Jabatan yang tak kuduga sama sekali. Alhamduliah aku juga mendapat teman yang bisa sehati dan sampai saat ini  terjalin erat setelah tiga puluh tahun terpisahkan. Ah… walau sekolah singkat banyak kenangan yang terukir indah. Bersama-sama mengukir indah walau hanya sekejab. Karena awal Februari artinya selang satu semester kami harus praktik mengajar di sekolah. Bisa bayangkan, kami masih unyu-unyu harus menjadi guru yang tentunya muridnya sudah lumayan besar. Aku mendapatkan tugas untuk prkatik di SMP swasta di daerah jalan Citarum Semarang. Aku pun mendapat kan kost yang dekat dengan tempat meegajar.

Dengan bertekad keberanian aku harus mengajar kelas 1 SMP tersebut dengan pembimbing Bapak Busro guru senior sekolah tersebut. Sehari semalam aku tak bisa tidur, harus belajar mengucapkan kata-demi kata di depan kelas. Sekalipun belum pernah bicara di depan kelas. Namun keberanian kubangun. Dengan mengafalkan sebuah materi, mempergakan di depan kaca proses mengajar pertama berjalan lancar. Murid-murid swasta yang cenderung besar-besar bisa  kuatasi.

Percik-percik cinta hadir. Ada kejadian singkat yang masih dalam memori. Seorang lelaki yang sudah lulus pasca sarjana memberi surat padaku. Aku saat itu kurang tahu pascasarjana itu lulusan apa maklum kuliah saja baru beberapa bulan. Gemetar juga saat itu. karena bertemu saja belum pernah. Dan ternyata setelah selidik punya selidik orangnya sudah jauh lebih tua dariku. Entahlah akhirnya kujawab juga surat itu dengan kata aku masih sekolah dulu.

Setahun sudah aku mengeyam di Semarang sebagai mahasiswa singkat. Proses wisuda pun kami lalaui. Akhirnya sebuah ijazah diploma kami terima. Pulanglah kami ke kampung halaman, siap mengabdi sebagai guru.

 

Selepas lulus sekolah kilat

Seminggu setelah lulus, aku tak mau diam. Segera aku kunjuni dua sekolah sekaligus. Yang pertama adalah sekolahku dulu dan sekolah SMP lain . Dan dua-duanya menerima aku. Selam dua hari aku mengajar di sekolahku dulu, sisanya saya mengajar di SMP lain. Namun awalanya bukan mengajar tetapi membantu di perpustakaan. Ya jalani saja. Kalau ada jam kosong baru saya disuruh ngisi.  Nah di dua sekolah ini ada percik-percik memori yang mungkin berkesan di hati di hati.

            Gadis seusiaku pada umumnya sudah mengenal cinta. Namun tidak dengan diriku. Maksudnya yang serius lho. Kalau cuma saling naksir saling suka sebatas itu pernah sih. Walau kadang bertepuk sebelah tangan. Nah, yang serius ya adalah saat itu.

Sebut saja namanya Mas Pras. Dia adalah seorang pegawai swasta di sebuah perusahaan kontraktor. Kami berteman sudah lama, teman dalam suatu perkumpulan di desa. Kami saling jumpa tetapi sebatas teman. Hingga suatu hari dia mengirim surat. Hem..surat berwarna merah jambu. Dulu belum ada HP satu-satunya ya surat. Surat berwarna merah jambu itu disampaikan seseorang. Debar jantungku berpacu.  

Gemetar kubuka surat yang mungkin baru pertama setelah aku sudah bekerja. Dan… sejenak aku terpana dengan baris- baris yang rajin dalam rangkain kata-kata yang menggelora. Kubaca kata demi kata kalimat yang menyentuh jiwa. Sesaat aku diam. Seolah mendengar ucapan dia dari bibirnya. Wajahnya kembali melintas di mataku. Sosok lelaki yang diam, berpostur tubuh biasa, lugu mengusik hatiku. Namun entahlah, aku tak merasakan kebahagiaan. Adanya sedikit galau karena tidak tahu harus bagaimana. Tak ada rasa yang bersemayam di hati. Mungkin karena dia sudah kuanggap kakak dalam pertemanan. Akhirnya surat kuletakkan di laci meja kerjaku. Kubiarkan hatiku mengembara ke mana-mana.

            Selang beberapa minggu surat datang lagi. Dan malamnya datang ke rumah dengan membawa sejuta kata. Aku diam. Mata dan hatiku belum bisa menerima cintanya. Jadi aku pun menjawab kalau aku belum bisa menerima cintanya. Aku ingin konsentrasi dengan pekerjaan. lagian  juga masih menunggu SK yang belum datang. Mas Pras mengiyakan. Dan katanya tetap akan menunggu. Duh…orang ini kok ngebet banget sih. Ya mungkin usianya sudah matang maka ingin menyegerakan.

Hampir tiap minggu terus mengirim surat. Kata-katanya membumbung tinggi. Tulisan nya pun rapi. Sudah berulangkali juga kusampaikan jika aku masih ingin sendiri. namun orang ini nekat juga. mungkin masalahnya, aku tetap ramah padanya tak sedikitpun kutampakkan rasa benci padanya.

            Entah kenapa ia menganggap jika aku menerima cintanya. Terbukti semua teman sekolah tahu. Padahal satu katapun belum bergulir di bibirku. Sempat seorang teman satu sekolah tempat aku mengajar menememuiku sepulang sekolah, namaya pak santoso

            “Mbak.. saya ingin bicara sebentar dengan mbak,” kata Pak San sambil menaikkan kaca mata. Aku tergagap. Sorot matanya serius ingin bicara dengan saya. Kami pun duduk berhadapan di ruang guru yang saat itu sudah sepi karena sudah jam pulang.

            “ Apakah Mbak berpacaran dengan Mas Pras. Dia kan satu desa denganku. Kata Pak San mantap. Orang yang dulu guruku  dan kini jadi teman sekantor tetap  kuanggap guruku.

            Aku tak mengiyakan tetapi juga tak menampik kat-kata beliau. Lantas beliu mengatakan sebaiknya hati-hati. Itu saja yang disampaikan. Selanjutnya aku hanya bertanya-tanya apa maksud hati Pak San dengan kata-kata itu.

            Bulan demi bulan hubunganku dengan Mas Pras masih dingin. Tetapi yang aneh, saat di berkunjung ke rumah aku tak mengusirnya, tetap kutemui seperti layaknya seorang tamu lain. Namun, Mas pras beda tanggapannya. Dia menganggap aku pacarnya. Banyak orang menganggapnya begitu. Aku hanya diam ketika semua orang menganggap aku berpacaran. Hingga ahirnya di memberanikan diri ingin memyegerakan untuk meminang dengan ingin menemui orangtuaku. Aku pun kaget atas kata-katanya yangdisampaikan dalam surat.

            Segera kujawab, aku belum siap. Nah kata-kata inilah yang mungkin memberi harapan padanya. Akuhanya berpikir saat itu siapa tahu aku pelan-pelan bisa mencintainya. Namun entahnya tidak ada rasa apa-apa. Aplagi ketika dia mengajak serius dengan akan mendatangkan kedua orangtuanya.

            Waktu berlalu, kami pun tetap saling bertemu walau dalam pertemuan  belum ada tanda kalau aku mengiyakannya.

            Aku tetap mengajar di dua sekolah walau hanya mendapat gaji secukupnya. Sebenarnya aku juga sudah mendaftar ke sekolah lain, namun selalu saja jawabanya sama yaitu kalau mendapat SK nantinya repot. Akhirnya kujalani dengan senang hati untuk mengabdi di dua sekolah. Hubungan dengan Mas Pras biasa saja, dia jarang ke rumah.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar