Setelah
lulus dari SMEA/ sekarang SMK aku berniat bekerja. Tak terbesit sedikit pun ada
keinginan kuliah mengingat aku dari keluarga biasa saja. Ayahku hanya sebagai
juru ketik di pabrik perseroan Ngobo Karangjati sedangkan ibuku hanya berjualan
kecil-kecilan di rumah.
Oleh
karena itu aku mulai mendaftar di perusahan agar aku bisa menjadi pegawai atau
menjadi sekretaris dan bisa membantu orang tua. Saat itu lulusan SMEA sebenarnya
akan mudah mendapatkan pekerjaan. Karena memang jarang sekali orang bersekolah
sampai sarjana. Namun, belum juga melamar pekerjaan ada saudara dari Ibuku
menyarankan untuk kulih singkat di IKIP.
“Sudahlah
kamu mendaftar di diploma saja, nanti kamu akan jadi guru, “ ucap beliau, paklik
Yadi.
“Nggeh
Paklik,” jawabku singkat walaupun agak ragu karena mampukah menjadi guru. Sambil menunggu pengumuman aku melamar pekerjaan
di perusahaan roti yang terkenal di
kotaku. Saya tak memikirkan pekerjaan kantoran. Tujuanya bisa bekerja itu saja.
Dan yang tak bisa terbayangkan saat ini
adalah aku mendaftar pekerjaan tanpa membawa apa-apa. Tekadku bulat ingin
bekerja. Aku hanya bermodal niat. Karena saat itu perusahaan memang membutuhkan
tenaga produksi bukan tenaga berdasarkan skill.
Pagi itu aku datang ke pabrik roti sendirian. Depan pabrik
itu sangat ramai sekali dengan para pelamar. Para pelamar hanya dikumpulkan di
depan pabrik. Kemudian beberapa saat kemudian seorang pemilik pabrik menujuk-unujuk
kami yang berdiri. Yang ditunjuk adalah yang diterima sebagai pekerja di pabrik
tersebut. Aku pun termasuk yang ditunjuk.
Pagi harinya aku berangkat bekerja dan ditempatkan di bagian
pengisian roti. Bau roti yang menyengat membuat kepalaku pusing apalagi saat
itu bulan puasa. Entahlah aku yang
lulusan SMEA bercampur dengan para wanita yang sebagaian besar tidak seolah
atau hanya tamatan SD. Saya enjoy saja. Ketika beberapa orang menegur dengan
nada sinis pun kuterima dengan senyum.
“Mbak… jenengan gak sungguh-sugguh
bekerja kan. Besok kalau sudah masuk sekolah pasti berhenti bekerja kan?
Tanyanya sambil memasukkan roti ke kaleng. Aku pun hanya senyum karena sampai
kapan juga gak tahu.
Semiggu sudah saya bekerja. Hari Sabtu
pun aku menerima upah dari seminggu,
tetapi yang dibayarkan hanya 5 hari. Ini namanya menggantung katanya. Jadi yang
sehari dibayarkan minggu depan. Upah berapa aku lupa. Yang aku ingat ingin bekerja tanpa mikir status jadi
apa. Penting memanfaatkan waktu sambil menunggu pengumuman perguruan tinggi.
Saya tak banyak berharap saat itu. karena katanya lulusan smea agak sulit msuk
perguruan tinggi.
Selang dua minggu bekerja, ada
sesorang yang datang ke rumah. Ternyata orang itu adalah pegawai perusahan
tempat kerjaku. Ada apa ini kok sampai datang ke rumah. Setelah berbasa basi si
Mbak e itu langsung menyampaikan maksudnya.
“Mbak yanti, …kedatangan saya ke
sini adalah ingin menyampaikan kalau Mbak mulai besok akan saya jadikan pegawai
baru bukan lagi di bagian produksi nanti Mbak Yanti membantu saya mengontrol
pekerja.
Haaaa… saya hanya melongo mendengar
tutur kata Mbak tadi. Senang campur ragu. Oleh karena itu saya hanya iyakan
saja. Keraguan disebabkan
Sebelum
bisa menjawab entah kenapa saya memutuskan keluar dari pabrik dan malah pergi
bersama tetangga ke pekalongan. Berhari-hari saya ke pekalongan.
Sampai
tiba saatnya pengumuman perguruan tinggi. Segera kubeli Koran. Dan tak kusuga
jika aku diterima di IKIP semarang. Kegembiraan membuncah. Akhirnya aku menjadi mahasiswa juga. Jurusan yang ketempuh
pun sebenarnya tidak sesuai dengan ijazah yang kuterima di SMEA. Aku mengambil
jurusan keterampilan jasa pilihan pertama karena ini sesuai dengan jurusan
sekolahku yaitu tata buku. Namun, jurusan bahasa Indonesialah yang diterima. Ya
tetap disyukuri. Saya memilih jurusan kedua itu karena kuakui mata pelajaran
bahasa Indonesia sangat kusukai. Nilai bahasa Indonesia sejak SMP selalu bagus.
Hanya
satu tahun aku mengenyam di bangku kulaih
IKIP N Semarang. Inilah kuliah terpendek saat itu. hanya ditempuh satu tahun.
Mungkin untuk perekrutan guru yang saat itu benar-benar dibutuhkan. Namun, hal
ini sudah membuat orang tuaku bahagia. Aku bisa mengenyam kuliah.walau hanya
diploma satu.
Ibuku
mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal kost di semarang. Walaupun rumahku di Ungaran
namun tetap aku harus kost karena transportasi amat sulit saat itu. Atas saran
tetangga aku pun mendapatkan kost daerah Kelud Selatan Semarang. Hanya beberapa
meter dari kampus Sebuah tas besar dengan
aneka kebutuhan siap dibawa. Dengan diantar oleh seorang lelaki, seorang pemuda
yang bukan apa-apa dari keluarga kami mengantar sampai di kost. Waktu itu aku manut
saja.
Rumah
sederhana dan gak terlalu mewah siap aku huni selama kuliah singkat itu. Kalau
tidak salah bayar kost hanya 35 ribu selama satu semester. Masih ingat waktu
itu bahwa penghuni rumah itu sampai 30 orang. Semuanya putri. Sang pemilik
rumah menempati di kamar belakang. Satu kamar dihuni tiga atau empat. Dengan
dipan besi tingkat kami tidur. Kamar berukuran 2X3 dihuni oleh 3 orang. Apalagi
di Semarang sangat panas sekali. Bisa bayangkan deh…seperti apa. Nah…saat itu aku
bertiga dengan Mbak Mei, Mbak N dari jurusan matematika. Mbak Mei orannya
gendut sehingga kasur yang tidak terlalu luas tidak bisa kami tempati berdua.
Maka aku lebih sering tidur di lantai. Semarang hawanyayang panas. Justru tidur
di lantai lebih nyaman. Walau nyamuk
selalu menjadi teman kami.
Sebuah
perjuangan singkat kami lalui, dengan bekal yang pas aku harus bisa mengatur uang
saku dari orangtua. Setiap pulang kampung, dan kembali ke kost, saya selalu
diberi bekal beras, telur juga lauk sehingga saat di kost tidak terlalu banyak
pengeluaran. Kadang telur satu saya beri kgandum dan sayuran sehingga bisa
untuk makan pagi dan siang. Atau kami dalam satu kamar gentian membeli lauk
dimakan bersama satu kamar.
Dalam
pergaulan di kost yang baru pertama aku rasakan tentu ada percik-percik. Awalnya
memang kami masak bersama. Biasa ada perbedaan pendapat dalam satu kost itu
biasa. Entah masalah makan, tempat tidur dan lain-lain.
Kulalui
dengan gembira, tawa bersama dalam rangka menjadi guru. Jabatan yang tak kuduga
sama sekali. Alhamduliah aku juga mendapat teman yang bisa sehati dan sampai
saat ini terjalin erat setelah tiga
puluh tahun terpisahkan. Ah… walau sekolah singkat banyak kenangan yang terukir
indah. Bersama-sama mengukir indah walau hanya sekejab. Karena awal Februari
artinya selang satu semester kami harus praktik mengajar di sekolah. Bisa
bayangkan, kami masih unyu-unyu harus menjadi guru yang tentunya muridnya sudah
lumayan besar. Aku mendapatkan tugas untuk prkatik di SMP swasta di daerah jalan
Citarum Semarang. Aku pun mendapat kan kost yang dekat dengan tempat meegajar.
Dengan
bertekad keberanian aku harus mengajar kelas 1 SMP tersebut dengan pembimbing Bapak
Busro guru senior sekolah tersebut. Sehari semalam aku tak bisa tidur, harus
belajar mengucapkan kata-demi kata di depan kelas. Sekalipun belum pernah bicara
di depan kelas. Namun keberanian kubangun. Dengan mengafalkan sebuah materi,
mempergakan di depan kaca proses mengajar pertama berjalan lancar. Murid-murid
swasta yang cenderung besar-besar bisa kuatasi.
Percik-percik
cinta hadir. Ada kejadian singkat yang masih dalam memori. Seorang lelaki yang
sudah lulus pasca sarjana memberi surat padaku. Aku saat itu kurang tahu pascasarjana
itu lulusan apa maklum kuliah saja baru beberapa bulan. Gemetar juga saat itu.
karena bertemu saja belum pernah. Dan ternyata setelah selidik punya selidik
orangnya sudah jauh lebih tua dariku. Entahlah akhirnya kujawab juga surat itu
dengan kata aku masih sekolah dulu.
Setahun
sudah aku mengeyam di Semarang sebagai mahasiswa singkat. Proses wisuda pun
kami lalaui. Akhirnya sebuah ijazah diploma kami terima. Pulanglah kami ke
kampung halaman, siap mengabdi sebagai guru.
Selepas
lulus sekolah kilat
Seminggu
setelah lulus, aku tak mau diam. Segera aku kunjuni dua sekolah sekaligus. Yang
pertama adalah sekolahku dulu dan sekolah SMP lain . Dan dua-duanya menerima aku.
Selam dua hari aku mengajar di sekolahku dulu, sisanya saya mengajar di SMP lain.
Namun awalanya bukan mengajar tetapi membantu di perpustakaan. Ya jalani saja.
Kalau ada jam kosong baru saya disuruh ngisi. Nah di dua sekolah ini ada percik-percik memori
yang mungkin berkesan di hati di hati.
Gadis seusiaku pada umumnya sudah
mengenal cinta. Namun tidak dengan diriku. Maksudnya yang serius lho. Kalau cuma
saling naksir saling suka sebatas itu pernah sih. Walau kadang bertepuk sebelah
tangan. Nah, yang serius ya adalah saat itu.
Sebut
saja namanya Mas Pras. Dia adalah seorang pegawai swasta di sebuah perusahaan
kontraktor. Kami berteman sudah lama, teman dalam suatu perkumpulan di desa.
Kami saling jumpa tetapi sebatas teman. Hingga suatu hari dia mengirim surat.
Hem..surat berwarna merah jambu. Dulu belum ada HP satu-satunya ya surat. Surat
berwarna merah jambu itu disampaikan seseorang. Debar jantungku berpacu.
Gemetar
kubuka surat yang mungkin baru pertama setelah aku sudah bekerja. Dan… sejenak
aku terpana dengan baris- baris yang rajin dalam rangkain kata-kata yang
menggelora. Kubaca kata demi kata kalimat yang menyentuh jiwa. Sesaat aku diam.
Seolah mendengar ucapan dia dari bibirnya. Wajahnya kembali melintas di mataku.
Sosok lelaki yang diam, berpostur tubuh biasa, lugu mengusik hatiku. Namun
entahlah, aku tak merasakan kebahagiaan. Adanya sedikit galau karena tidak tahu
harus bagaimana. Tak ada rasa yang bersemayam di hati. Mungkin karena dia sudah
kuanggap kakak dalam pertemanan. Akhirnya surat kuletakkan di laci meja
kerjaku. Kubiarkan hatiku mengembara ke mana-mana.
Selang beberapa minggu surat datang
lagi. Dan malamnya datang ke rumah dengan membawa sejuta kata. Aku diam. Mata
dan hatiku belum bisa menerima cintanya. Jadi aku pun menjawab kalau aku belum
bisa menerima cintanya. Aku ingin konsentrasi dengan pekerjaan. lagian juga masih menunggu SK yang belum datang. Mas
Pras mengiyakan. Dan katanya tetap akan menunggu. Duh…orang ini kok ngebet
banget sih. Ya mungkin usianya sudah matang maka ingin menyegerakan.
Hampir
tiap minggu terus mengirim surat. Kata-katanya membumbung tinggi. Tulisan nya
pun rapi. Sudah berulangkali juga kusampaikan jika aku masih ingin sendiri.
namun orang ini nekat juga. mungkin masalahnya, aku tetap ramah padanya tak
sedikitpun kutampakkan rasa benci padanya.
Entah kenapa ia menganggap jika aku
menerima cintanya. Terbukti semua teman sekolah tahu. Padahal satu katapun
belum bergulir di bibirku. Sempat seorang teman satu sekolah tempat aku
mengajar menememuiku sepulang sekolah, namaya pak santoso
“Mbak.. saya ingin bicara sebentar
dengan mbak,” kata Pak San sambil menaikkan kaca mata. Aku tergagap. Sorot
matanya serius ingin bicara dengan saya. Kami pun duduk berhadapan di ruang
guru yang saat itu sudah sepi karena sudah jam pulang.
“ Apakah Mbak berpacaran dengan Mas
Pras. Dia kan satu desa denganku. Kata Pak San mantap. Orang yang dulu guruku dan kini jadi teman sekantor tetap kuanggap guruku.
Aku tak mengiyakan tetapi juga tak
menampik kat-kata beliau. Lantas beliu mengatakan sebaiknya hati-hati. Itu saja
yang disampaikan. Selanjutnya aku hanya bertanya-tanya apa maksud hati Pak San
dengan kata-kata itu.
Bulan demi bulan hubunganku dengan Mas
Pras masih dingin. Tetapi yang aneh, saat di berkunjung ke rumah aku tak
mengusirnya, tetap kutemui seperti layaknya seorang tamu lain. Namun, Mas pras
beda tanggapannya. Dia menganggap aku pacarnya. Banyak orang menganggapnya
begitu. Aku hanya diam ketika semua orang menganggap aku berpacaran. Hingga
ahirnya di memberanikan diri ingin memyegerakan untuk meminang dengan ingin
menemui orangtuaku. Aku pun kaget atas kata-katanya yangdisampaikan dalam
surat.
Segera kujawab, aku belum siap. Nah
kata-kata inilah yang mungkin memberi harapan padanya. Akuhanya berpikir saat
itu siapa tahu aku pelan-pelan bisa mencintainya. Namun entahnya tidak ada rasa
apa-apa. Aplagi ketika dia mengajak serius dengan akan mendatangkan kedua
orangtuanya.
Waktu berlalu, kami pun tetap saling
bertemu walau dalam pertemuan belum ada
tanda kalau aku mengiyakannya.
Aku tetap mengajar di dua sekolah
walau hanya mendapat gaji secukupnya. Sebenarnya aku juga sudah mendaftar ke
sekolah lain, namun selalu saja jawabanya sama yaitu kalau mendapat SK nantinya
repot. Akhirnya kujalani dengan senang hati untuk mengabdi di dua sekolah.
Hubungan dengan Mas Pras biasa saja, dia jarang ke rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar