Jumat, 21 Agustus 2020

Masih Ada Cahaya dariNya


Masih Ada Cahaya dariNya

Oleh : Budiyanti

“Ups salah lagi, “ Yono geleng kepala sendiri. Mengutuk diri kenapa dirinya tak juga bisa menangkap genting dari bawah yang akan dipasang di atap rumah barunya. 


“Maaf, tak bisa membantu Bapak. Aku turun saja,” Yono turun dari atap, wajahnya berlipat seolah ada sesuatu yang mengganjal hati. 

“Kenapa sih Yon, nangkap gitu saja tidak becus. Maunya kerja apa?” Pak Darman berulang kali mengomeli anak lelakinya. Lelaki yang kini duduk di kelas 10 di sekolah swasta Salatiga tersebut diam saja. Tak berani menjawab kata-kata bapaknya. Diusap peluh yang kian menderas dengan ujung tangan kanan.

Sudah dari pagi ia membantu orang tuanya membangun rumah hasil bantuan pemerintah. Mulai mengaduk pasir, menata batako, lalu mengusungnya ke Pak Tukang.  Apa pun dilakukan agar bisa mengurangi pengeluaran keuangan yang ada. Ia izin dengan guru kelas bahwa pekerjaan daring dikerjakan malam hari. 


 Ya, Pak Darman, orang tua Yono baru saja mendapat bantuan bedah rumah oleh pemerintah. Keuangan yang ada harus diusahakan agar bisa selesai. 

Tetiba seorang wanita paruh baya sudah berada di bawah bangunan.  Pendar matahari  bertelau-telau, memasuki rumah. Bu Lastri meletakkan nampan berisi teko plastik berisi teh manis dan sepiring ketela godok. 


Seorang tukang bangunan dan Pak Darman turun dari atap juga karena tenggorokannya sudah kering.  Mereka duduk bersila di lantai tanah yang masih tak beraturan untuk menikmati hidangan sederhana. Dibiarkan panas membakar tubuh mereka. 

"Yon, ada apa kok kamu diam saja. Gak mau ketela ya?” Bu Lastri menangkap wajah anak mbarepnya itu tidak seperti biasa. Wajahnya kusut tak bergairah. 

“Tidak apa-apa Mak, aku sudah kenyang kok,” ucap Yono berbohong. Wajahnya memandang bangunan yang belum jadi. Bayang rumah baru menjadi impian saat ini. Dirinya ingin segera bisa menempati rumah baru agar tidak  seperti dulu. Ia harus tidur berdempetan dalam rumah yang memang tak layak huni. Rumah yang selalu kebanjiran jika hujan deras. Kalau sudah begitu bisa dipastikan ia mencari tumpangan tidur di tetangganya. Atau ia tidur di pos kamling. 

“Emak, kenapa Bapak diam saja dengan Pak Dhe Joyo. Bukankah harusnya rumah ini bisa segera jadi andai Pak Dhe Joyo tidak licik.” Yono memberanikan diri untuk bertanya pada Emaknya.  Yono teringat cerita Bapak jika sebagian warisan dari nenek diutang Pak Dhe -nya untuk usaha dagang sapi. Bapaknya diiming-imingi akan dikembalikan dua kali lipat dalam dua bulan. Namun, sayang usaha Pak Dhe bangkrut. 

”Sudahlah Yon, tidak usah diungkit-ungkit lagi. InsyaAllah ada rezeki lain. Pak Dhe - mu juga tidak punya apa-apa lagi."


“Jadi Emak ihklas dengan uang sebanyak itu?” Kali ini hati Yono panas sepanas bara api. Walaupun ia tahu itu bukan urusannya. 

Emak bergeming. Merunduk lalu tumpahlah air matanya. Yono pun diam. 

“Apa lebih baik aku tidak sekolah saja? ” gumamnya pelan.  Kegalauannya terus mengusik hati.

“Andai aku sudah bisa kerja, akan kumpulkan uang sebanyak- banyaknya. Uangnya bisa untuk menyelesaikan rumah ini sampai tuntas.” Mata lelaki yang sering membantu emaknya mencari ikan rawa ini  berkaca-kaca. Baru kali ini dirinya menangis lagi setelah lulus SD, saat dirinya disunat.

Dirinya bimbang antara meneruskan sekolah atau bekerja saja. Namun, hati kecilnya ingin sekolah agar dapat pekerjaan lebih baik bukan hanya buruh saja. Sesaat bayangnya ingat pada sosok penyemangat yang selama ini membantunya meneruskan sekolah. Haruskah jerih payahnya diabaikan? Namun di sisi lain ia ingin segera bekerja. 

“Aku lebih baik keluar sekolah,” ucapnya lirih hingga terdengar oleh Emaknya yang sedang memberesi gelas dan piring yang kotor. Ia bertekad akan menemui Bu Umi. 

“Yon, ada apa kok bicara sendiri?” Ditepuk pundang anak lelakinya yang tingginya melebihi bapaknya. 

Tergagap Yono mendengarkan ucapan wanita yang wajahnya lebih tua dari usianya itu. Ia menoleh  sesaat lalu merunduk agar tak tampak matanya yang berembun. 

“Mak, kalau aku keluar sekolah bagaimana?  aku bisa kerja dan bisa membantu menyelesaikan rumah ini. Aku dengar uang sudah habis. Terus bagaimana kelanjutannya, apakah bisa selesai nantinya?”

Lastri terpaku dalam diam. mendesah dalam gundah. Hatinya perih. Segera si Emak mendekati Yono yang masih duduk di pecahan batu bata. Sesekali tangan Yono membuat garis-garis di pasir yang ada di sebelahnya. 

“Yon, kenapa kau bilang seperti itu, Emak dan Bapak akan terus berusaha agar rumah ini jadi entah dengan cara apa? Inyaallah ada jalan. Emak pasrahkan saja pada Gusti Moho Agung. Kita wajib bersyukur dapat bantuan dari pemerintah, para tetangga dan handai taulan.

Sebaiknya jangan kau kecewakan juga  orang yang sudah membiayaimu Nang,” Lastri mengelus-elus pundak Yono. 

"Tapi Mak…,” Yono tak meneruskan ucapnya. Pergulatan hati terus bersemayam di hatinya. Lelaki yang kurus dan berkulit hitam ini menatap emaknya, kemudian memegang kedua tangan yang agak kasar itu karena tergerus usia.  Emak diam saja ketika wajahnya beradu dengan anak lelakinya.

“Tenan Lhe…jangan keluar sekolah. kau harus bisa mengangkat derajat orangtuamu. Syukur kau bisa membantu sekolah adikmu juga,” bujuk emak Lastri. Emak Lastri berulang kali mengusap air bening yang perlahan basahi pipi yang kering tak pernah kenal bedak. Jangankan beli bedak. Beli beras saja kadang tak bisa. Bagaimana tidak, sebagai buruh tidak tentu suaminya mendapatkan uang. 

Yono diam, ia berusaha berdamai dengan hatinya. Ditinggalkannya rumah yang masih berbentuk rangka itu. Ia berlari menuju rawa yang tak jauh dari rumahnya. Umpatan ayahnya karena dirinya tak mau  membantu lagi diabaikan. Kebiasaan lama dijalani lagi. Ia akan duduk di tepi rawa sambil melempar-lempar batu sekencang-kencangnya. Lalu ia teriak sekuat-kuatnya. Ia memilih tempat yang jarang dijamah orang. Kali ini ia mengulang kembali. 

“Tidaaaaak, “ teriak Yon sekuat tenaga. Membuat burung-burung putih beterbangan tinggi. Berbaris menjauh sampai di angkasa. Seolah membawa gundah yang menggurita. Tak lama kemudian dirinya tertidur di rerumputan. Tak terasa jika ada adiknya yang lama berada di sampingnya.

“Mas… Mas ada tamu, Mas Yono disuruh pulang,” Tini menggoyang-goyangkan tubuh kecil kakaknya. Yono perlahan membuka mata, beranjak berdiri lalu mengikuti langkah adik satu-satunya. Dirinya tahu jika Emak menyuruh pulang berarti ada yang penting. Ia berusaha membantu apa pun permintaan emak yang amat menyayanginya. 

Hanya beberapa menit, ia sudah sampai di rumah yang sudah reyot, di sana-sini banyak papan bekas menutupi papan yang sudah termakan rayap. 

“Asalamualaikum,” uluk salam Yon membuat orang yang ada di dalam menjawab dengan kompak. Seketika hati Yono berdebar ketika mendengar tamunya seolah dikenal

“Ibu Umi, Bu Dhian, Bu Ifa!” Yono tak percaya jika tamunya adalah gurunya saat masih SMP. Ia celingukan ketika guru kala dulu bertandang di gubuk reyotnya. Padahal tak pernah dirinya memberi alamat. 

“Bapak, Ibu dan Yon, ini ada sedikit rezeki dari Allah lewat bapak ibu guru. Semoga bisa sedikit membantu untuk melanjutkan rumah walaupun tidak seberapa, “ ucap Bu Umi lembut. Ucapan yang  menyentuh hati. Sebuah amplop putih telah berpindah tangan. Bapak Ibunya Yono langsung bersujud dan berulang kali mengucap terima kasih.

"Kau tetap bersekolah Yon, insyaallah Ibu masih berusaha membantumu. Sekolah yang baik, tekun belajar ya Nang. Jangan lupa selalu berdoa agar Allah selalu memberi kemudahan." Bu Umi menegaskan kembali karena mendengar kalau Yono akan keluar sekolah. 

Mata Yono berkaca- kaca. Hatinya berbunga-bunga. Sebuah cahaya melingkupi keluarga Pak Darman.  Cahaya yang dapat memberi harapan indah. Semua itu karena kehendakNya. 


Ambarawa, 22 Agustus 2020

Senin, 03 Agustus 2020

MERTI DUSUN DI ERA PANDEMI COVID -19







Pada era Pamdemi covid-19 ini kegiatan Merdi Dusun menjadi pertimbangan tersendiri untuk dilaksanakan atau tidak. Merti Dusun atau sedekah dusun merupakan tradisi sejak dulu di Jawa Tengah. Istilah lain kadeso bisa jadi dari kata sedekah desa. Berbagai acara digelar sesuai dengan kemampuan dusun/ desa. Ada yang menyelenggarakan kirab budaya, pertunjukan wayang kulit, kuda lumping dan lainnya.

Warga rela bersedekah demi kesuksesan acara. Iuran berapa pun disanggupi. Selain itu ada juga ngetokke. Artinya membawa aneka makanan untuk dimakan bersama yang sebelumnya berdoa. Biasanya acara digelar di rumah kepala dusun atau Mbah bekel (kala itu). 
Merti Dusun dilaksanakan sebagai sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas kesehatan, keselamatan warga dusun.

Untuk nguri-nguri budaya yang mungkin sudah jarang dilaksanakan lagi.  Warga Kaliputih, Panjang, Ambarawa tetap menyelenggarakan Merti Dusun atau istilah lain adalah sedekah  dusun. Pelaksanaan Merti Dusun tahun ini tidak sama dengan tahun sebelumnya karena ada pandemi covid-19.

Acara dilaksanakan sore hari, 2 Agustus 2020 dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Menurut Bapak Dadik Sudiyono, ketua RW menyampaikan bahwa Tema merti dusun kali ini adalah Gumrigah ing Gawe Manunggal ing Roso. Acara ini dikemas dalam adat istiadat Jawa. Hal ini tampak para warga memakai pakaian adat Jawa dengan jarit  dan kebaya untuk ibu-ibu. Sedangkan bapak- bapak memakai kain dan blangkon. Baju lurik pun mewarnai sore itu.

Acara ini sudah hampir sama dengan tahun lalu. Tahun lalu acara digelar di sepanjang jalan kampung dengan duduk dan berdoa bersama. Masing-masing warga membawa makanan dan jajanan. Semua warga wajib memakai pakaian Jawa.  

Karena tak boleh mengumpulkan orang banyak, acara Merti Dusun tahun ini  diselenggarakan secara  sederhana. Hanya perwakilan masing-masing RT, sesepuh dan beberapa tamu  luar yaitu kepala desa dan dari kepolisian yang hadir saat itu.

Kurang lebih ada 50- an orang memenuhi ruangan balai RW. Kursi diatur dengan berjarak agar sesuai dengan anjuran pemerintah. Kami tetap melaksanakan kegiatan dengan protokol kesehatan. Intinya acara Merti Dusun atau sedekah desa adalah sebagai wujud syukur dan doa bersama kepada Tuhan karena kami telah diberikan kesehatan kesejahteraan.

Yang khas adalah doa pada acara ini dipimpin oleh tiga pemuka agama yaitu Islam, Kristen dan Katolik. Kami merunduk, merenung serasa menyimak doa-doa yang dilantunkan. Kami berdoa untuk keselamatan desa agar tenteram ayem dan damai.

Acara selanjutnya sambutan kepala desa Bapak Khoirul Rozikin, S.H. Beliau mendukung acara karena sebagai upaya melestarikan budaya yang hampir luntur.
adalah potong tumpeng oleh kepala desa dilanjutkan dengan ramah tamah. Jajan pasar dan tumpeng  yang berada di tampah siap dinikmati bersama.


Usai makan bersama adalah sesi foto-foto. Yang ini sulit dihilangkan adalah selfiria dengan perangkat desa untuk saling mengakrabkan diri.

Jelang magrib alhamdulilah  acara selesai. Bagaimana dengan Merti Dusun di desamu? Yuk berbagi cerita di sini. Insyaallah ada hikmah di balik cerita.

Ambarawa, 4 Agustus 2020.
.