Senin, 19 Desember 2022

Mengukir Senja Bersamamu (Refleksi Pernikahan 35 Tahun)

                     dokumen pribadi

Tak Terasa hari ini 20 Desember 2022, adalah hari istimewa. 35 tahun sudah kebersamaan yang kami lalui dalam biduk pernikahan. Jika dipadankan dalam hidup, usia 35 tahun adalah sudah dikategorikan sudah dewasa. Benar juga hal tersebut. Pernikahan kami sudah sampai pada tahap tersebut. 

Perjalanan panjang telah kami lalui dalam suka dan duka. Percik-percik dalam mengarungi berumah tangga pasti ada. Namun, syukur Alhamdulillah kami bisa melaluinya dengan baik. Kuncinya kesabaran dan selalu ingat kepada Allah dalam setiap derap langkah kehidupan. 

Sejenak akan saya ceritakan awal kami membangun rumah tangga. Tiga tempat kami menjadi kontraktor. Kok kontraktor? Ya, maksudnya mengontrak rumah sampai tiga kali. 

Pertama, di rumah berdinding kayu jika hujan kadang rumah bocor. Masih ingat waktu itu kami harus bisa mencukupi kebutuhan dengan gaji amat minim sebagai guru. Waktu itu gaji sebesar 57 ribu kali dua dengan gaji suami harus bisa kontrak rumah, makan sehari-hari, dan bayar setoran sepeda motor.

Ketika anak pertama berusia 3 tahun, saya melahirkan anak kedua. Pas lahiran eh... suami pergi ke rumah saudara. Jadi saya melahirkan dibantu bidan desa tak ditunggu suami dengan membayar 50 ribu saat itu tahun 1992. Saat itu belum ada HP. Jadi tak bisa memberitahukan akan kelahiran anak. 

Saat lahir anak kedua kami sudah pindah kontrakan. Selama dua tahun kami menempati rumah, kami harus pindah dengan alasan rumah akan dipakai sendiri oleh yang punya rumah. Usut punya usut ternyata dikontrakkan orang asing dengan sewa lebih tinggi. Saat itu sewa kontrakan 100 ribu.

Usia anak kedua satu setengah tahun, lahirnya anak ketiga. Heee ceritanya sundulan kata orang jawa. Kelahiran anak ketiga, kami sudah pindah rumah. Pindah rumah, lahirlah anak. Dengan gaji pas-pasan kami berjuang menghidupi tiga anak. Betapa kerepotan kami alami.  Ada dua ART yang siap membantu keseharian kami. Jika tidak ada tentu tidak mampu. Mengasuh tiga anak yang semuanya cowok bukan hal mudah. Sampai akhirnya kami mempunyai rumah sendiri di Ambarawa.

Berjalannya waktu kami mempunyai tanah. Karena kurang sreg di tempat dingin Sumowono, tanah saya jual. Uang hasil menjual tanah dengan harga tiga kali lipat bisa kami gunakan untuk membeli tanah kembali lalu  membangunnya. Walaupun belum rampung rumah mungil kami tempati. 

Penuh perjuangan kami berusaha mendidik mereka dengan sepenuh hati.  Kebutuhan makin besar saat saya dan suami harus juga kuliah hingga sarjana. Saat awal mengajar, pendidikan kami hanya sampai diploma 1. Selanjutnya kuliah sendiri hingga S1.

Mendidik ketiga anak bukan hal mudah. Saya berusaha mendidik agama dengan mendatangkan guru ngaji selain diikutkan dalam TPA. Ketiga anak saya ikutkan juga dalam kursus mata pelajaran agar bisa menunjang pendidikan. Pendidikan agama dan umum kami usahakan semaksimal mungkin.

Kami berjuang dengan bekerja sebaik-baiknya. Bekerja dengan tekun dan berusaha tidak meninggalkan siswa tanpa ada kepentingan mendesak.

Kejujuran dan ketekunan kami lakukan dalam bekerja. Prinsip kami bekerja untuk mencari rejeki yang berkah.

Doa, tirakat dan bekerja sungguh-sungguh terus kami lakukan demi anak-anak kami. Syukur Alhamdulillah ketiga anak kami bisa bersekolah dengan lancar. Anak pertama bisa sekolah di sekolah negeri hingga perguruan tinggi. 

Doa dan usaha akhirnya bisa mengantarkan anak pertama diterima di UNS. Baru saja dijalankan tiga bulan ada informasi jika anak diterima di universitas unggulan yaitu STAN Jakarta. Rasa syukur tak terhingga kami rasakan.

Tiga tahun kemudian sang adik menyusul bisa mengikuti jejak kakaknya. Syukurlah anak kedua yang pernah mendapat nilai 10 bulat pada mapel Matematika bisa lolos di UGM dan STAN. 

Rejeki tak terduga kami terima. Kedua anak berjuang belajar di sekolah ikatan dinas. Perjuangan terus kami lakukan. Jika tidak bisa mengikuti aturan bisa kena DO. Artinya bisa keluar jika nilai belum memenuhi syarat. Kejujuran dalam ujian atau tes benar-benar diterapkan.

Akhirnya kedua anak bisa bekerja sebagai pegawai negeri di departemen keuangan. Tantangan demi tantangan ditempa. Apalagi anak harus bisa menangkis rumor negatif saat bekerja di departemen itu. Syukur alhamdulilah dengan bekal iman, anak termasuk pejuang anti suap dan mendapatkan penghargaan dari kantor. 

Sedangkan anak ketiga kini bisa menyelesaikan kuliah S2 di Unnes. Kini ketiganya telah berumah tangga. Rasa syukur tak terhingga kamu rasakan.

Kami sebagai anggota pensiun telah lulus. Lulus sebagi guru, lulus telah menyekolahkan anak hingga bisa kuliah, dan lulus karena telah menikahkan ketiga anak. Rasanya plong. Semua karena Allah. 

Kini kebahagian kami nikmati dengan berdua dengan menempati gubuk baru dari jerih payah kami. Walaupun kami tak punya investasi apa pun, namun kami sudah merasa plong telah menyelesaikan tugas kami selaku orangtua. Amanah yang telah diberikan Allah telah kami jaga. 

35 tahun kebersamaan kami telah mengukir banyak cerita dalam bingkai kebahagiaan. Kini saatnya kami meniti senja dengan selalu mendekat pada-Nya agar bekal makin bertambah yang akan kami bawa di akhir zaman. Semoga kebersamaan kami bisa langgeng hingga nanti. Hanya kepada-Nya kami berlindung agak keluarga kami diliputi kebahagiaan.

 

Ambarawa, 20 Desember 2022

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 17 Desember 2022

Resensi : Perjalanan Jiwa yang Menggugah Hati

 


Judul Buku          : Napak  Tilas Perjalanan Jiwa

Penulis                : Sri Sugiastuti

Penerbit              : CV Oase Pustaka

Tahun Terbit      : September 2022

Tebal Buku         : 168 halaman

Nomor QRCBN   : 62-134-3908-034

Peresensi            : Budiyanti

 

Sebuah jejak hidup akan bisa menjadi refleksi diri dalam menjalani perjalanan di dunia. Perjalanan jiwa akan menjadikan kita lebih tahu akan makna hidup ini dengan berbagai percik-percik yang kita alami. Kita pun akan bisa menambah rasa syukur akan anugrah terindah dari Allah. Semua itu terangkum dalam buku setebal 168 yang ditulis oleh seorang guru,  blogger dan penulis Sri Sugiastuti.

Buku berjudul ‘Napak Tilas Perjalanan Jiwa’ ini terdiri dari 26 kisah inspiratif. Buku  yang menggugah jiwa bisa menjadi teladan bagi pembaca. Membaca buku ini seolah pembaca diajak menyelami jiwa penulis dengan berbagai kisah nyata yang menarik. 

Pada kisah pertama yang berjudul Aku, Ibu dan Guru berkisah tentang penulis yang sudah sejak kecil ingin menjadi guru. Hal ini terbukti penulis, Astuti kecil sudah sering memeragakan dirinya menjadi guru saat bermain dengan teman-temannya. JIwa suka membaca pun sudah ada dari kecil. Hal ini dapat diceritakan Astuti sudah suka membaca majalah Kucung dan Bobo yang dibelikan sang Ibu. Sang Ibu pun berasumsi Astuti akan menjadi guru.

Cita-cita pun tecapai dan pengabdian sebagai guru telah dijalaninya hingga pensiun. Sesaat penulis bercerita saat bertemu muridnya.

“Ibu, saya bisa sukses karena Ibu.” (hal 13) Ucapan seorang siswa yang telah sukses pada penulis yang telah menjadi guru muda. Penulis yang kini disebut sebagai Bu Kanjeng ini mengerutkan kening karena lupa dengan siswa yang telah menjadikan teguran guru sebagai cambuk untuk bangkit. 

Hal ini bisa dibaca pada kisah kedua. Berkat penulis, siswa tersebut telah sukses. Kisah ini ada dalam bagian dari perjalanan saat masih bersekolah  dari SMA hingga kuliah dan akhirnya menjadi guru.

“Dengan memiliki ilmu kita dapat menggenggam dunia, dan mengejar mimpi besar yang kita punya sehingga akan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan bangsa.” 

Qoute yang mengawali kisah ketiga ini mematik penulis menjadi refleksi diri menuju guru berprestasi. Bu Kanjeng telah membuktikan bahwa orang berilmu dapat meraih mimpi. Penulis telah mengabdi. sebagai guru selama 35 tahun. 

Kisah yang ketiga ini juga ditunjukkan adanya prestasi  saat beliau kuliah di Universitas Sebelas Maret. Bu Kanjeng pernah menjadi mahasiwa yang aktif dan banyak sertipikat yang bisa sebagai modal melamar pekerjaan sebagi guru. Bu Kanjeng orang yang ingin terus mengejar ilmu. Keinginan memajukan siswanya telah dialaminya dengan menjadi guru di sekolah swasta dengan murid yang di bawah rata-rata. Menuju pencapaian prestasi itu proses yang harus dijalani dengan kesunguhan (18). 

Refleksi diri ini Bu Kanjeng tetap merasa belum maksimal walaupun beliau kini telah menjadi pahlawan keluarga, literasi, dan pahlawan lain untuk berbagi.

Komunikasi  adalah kunci untuk membuka hubungan apa pun. Ungkapan yang ditulis oleh Penulis beken Tere Liye ini telah menjadi patokan Bu Kanjeng untuk menghadapi siswa yang belum membayar sekolah. 

Beliau intens berkomunikasi dengan orangtua yang akhirnya membuahkan hasil. Hal tersebut bisa dibaca pada cerita keempat yang berjudul Komunikasi Guru, Siswa, dan Orangtua. 

Better late than never. Kata ini menjadi mantra Bu Kanjeng yang dapat mengantarkan beliau menjadi penulis saat memasuki usia 50 tahun dengan meluncurkan dua buku yang berjudul Kugelar Sajadah Cinta yang telah diterbitkan indie. Sedangkan buku pendalaman materi bahasa inggris telah dterbitkan secara mayor yaitu penerbit Elangga. 

Prestasi terus bergulir dengan disandangnya beliau sebagai Ratu Antologi. Bu Kanjeng berhasil menggali potensi penulis pemula menjadi penulis sejati. Banyak karya dihasilkan karena tangan dingin Bu Kanjeng. Inilah kebanggaan beliau bisa mengumpulkan naskah yang akan dibukukan. Keberhasilan berliterasi dibuktikan dengan seringnya menjadi narsum di kelas belajar menulis PGRI bersama Bapak Wijaya Kusumah. Produktif saat senja menjadikan tema saat mengisi acara di radio. 

Zaman berubah sesuai perkembangan. Saat zaman digital Bu Kanjeng ikut terlibat di dalammnya. Hal ini bisa kita simak pada judul Hidup di Zaman Digital Bersama Merdeka Belajar. Hidup dengan selalu belajar itulah sosok Sri Sugiastuti yang biasa dipanggil Bu Kanjeng.


Ada kisah unik saat Bu Kanjeng berkunjung ke Labuan Bajo sebagai peserta JAMDA IX NTT 2022. Gara-gara lupa menaruh dompet kepanikan melanda. Untung ada teman yang baik hati. Kisah ini bisa Anda baca pada hal 32. 

KIsah menarik lain adalah saat Bu Kanjeng bisa bersilahturami dengan Bu Nia. Memang Bu Kanjeng orangnya supel, baik hati dan amat bersahabat dengan siapa saja. Karena berliterasi akhirnya beliau banyak saudara yang berada dari berbagai daerah. Dengan Bu Nia seolah seperti saudara. Kala Bu Kanjeng ke Jakarta atau Bogor, selalu diagendakan beertemu dengan sabahat literasi. Saling tukar oleh-oleh menjadi acara asyik dua sahabat literasi.

Masih banyak cerita yang inspiratif dalam buku yang bersampul kuning biru ini. Tentang kisahnya yang berhasil membantu Yu Parni, kisah saat berkunjung ke adiknya dan saat mendapat rejeki anak setelah beberapa kali keguguran. Selain itu ada kisah yang menggugah yaitu beliau bisa menjalankan umroh bersama suami saat usia sudah senja. 

Alhamdulillah. Yang tak kalah asyik saat beliau aktif di LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Bubisa bersilaturahmi dengan calon walikota Solo yang waktu itu dijabat oleh Bapak Joko Widodo. Bertemu dengan Mas Gibran Rakabuming Raka yang sudah menjadi walikota Solo pun diceritakan dalam buku ini.

Kisah-kisah dalam buku ini amat bagus sebagai referensi untuk mengupgrade diri. Kata-katanya mudah dimengerti dengan bahasa sehari-hari. Buku ini bisa menjadikan pembaca termotivasi lewat jejak jiwa Bu Kanjeng. Selain itu bisa tersirat bahwa belajar tak mengenal kata terlambat. Hal ini terbukti dalam buku ini Bu Kanjeng, telah membuktikan bahwa beliau belajar dan belajar walaupun usia sudah senja.

Secara keseluruhan buku ini amat bagus walaupun ada sedikit yang perlu dibenahi. Misalnya teks tulisan kurang jelas dibaca karena kurang hitam.  Ada beberapa typo yang harus diedit. Pemakaian tag pada percakapan yang diakhiri tanda baca koma seharusnya ditulis huruf kecil.

“Kok bisa?”  Tanya Bu Kanjeng penasaran. ( hal. 13)

Seharusnya :

“Kok bisa?” tanya Bu Kanjeng penasaran (kata tanya diawali huruf kecil)

Hal sama pada hal. 22. Sebaiknya kata tanya menggunakan huruf kecil. Hal ini juga ada dalam hal. 75. Selain itu setelah tanda petik (“) tidak ada spasi.

  Wah, Mbak Iyem kecewa berat ya?” Komen Bu Kanjeng.

Seharusnya…

“Wah, Mbak Iyem kecewa berat ya?” komen Bu Kanjeng.

Selanjutnya ada  paragraf yang ditulis sama sehingga membuat pembaca bingung yaitu hal. 149 dan 154 Malik berlari sekencang mungkinke arah gunung..... dst.

Walaupun ada kekurangan yang relatif sekitit, buku ini layak dibaca dan dimiliki. Selamat membaca.

Salam literasi

19 Desember 2022