Sabtu, 17 Desember 2022

Resensi : Perjalanan Jiwa yang Menggugah Hati

 


Judul Buku          : Napak  Tilas Perjalanan Jiwa

Penulis                : Sri Sugiastuti

Penerbit              : CV Oase Pustaka

Tahun Terbit      : September 2022

Tebal Buku         : 168 halaman

Nomor QRCBN   : 62-134-3908-034

Peresensi            : Budiyanti

 

Sebuah jejak hidup akan bisa menjadi refleksi diri dalam menjalani perjalanan di dunia. Perjalanan jiwa akan menjadikan kita lebih tahu akan makna hidup ini dengan berbagai percik-percik yang kita alami. Kita pun akan bisa menambah rasa syukur akan anugrah terindah dari Allah. Semua itu terangkum dalam buku setebal 168 yang ditulis oleh seorang guru,  blogger dan penulis Sri Sugiastuti.

Buku berjudul ‘Napak Tilas Perjalanan Jiwa’ ini terdiri dari 26 kisah inspiratif. Buku  yang menggugah jiwa bisa menjadi teladan bagi pembaca. Membaca buku ini seolah pembaca diajak menyelami jiwa penulis dengan berbagai kisah nyata yang menarik. 

Pada kisah pertama yang berjudul Aku, Ibu dan Guru berkisah tentang penulis yang sudah sejak kecil ingin menjadi guru. Hal ini terbukti penulis, Astuti kecil sudah sering memeragakan dirinya menjadi guru saat bermain dengan teman-temannya. JIwa suka membaca pun sudah ada dari kecil. Hal ini dapat diceritakan Astuti sudah suka membaca majalah Kucung dan Bobo yang dibelikan sang Ibu. Sang Ibu pun berasumsi Astuti akan menjadi guru.

Cita-cita pun tecapai dan pengabdian sebagai guru telah dijalaninya hingga pensiun. Sesaat penulis bercerita saat bertemu muridnya.

“Ibu, saya bisa sukses karena Ibu.” (hal 13) Ucapan seorang siswa yang telah sukses pada penulis yang telah menjadi guru muda. Penulis yang kini disebut sebagai Bu Kanjeng ini mengerutkan kening karena lupa dengan siswa yang telah menjadikan teguran guru sebagai cambuk untuk bangkit. 

Hal ini bisa dibaca pada kisah kedua. Berkat penulis, siswa tersebut telah sukses. Kisah ini ada dalam bagian dari perjalanan saat masih bersekolah  dari SMA hingga kuliah dan akhirnya menjadi guru.

“Dengan memiliki ilmu kita dapat menggenggam dunia, dan mengejar mimpi besar yang kita punya sehingga akan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan bangsa.” 

Qoute yang mengawali kisah ketiga ini mematik penulis menjadi refleksi diri menuju guru berprestasi. Bu Kanjeng telah membuktikan bahwa orang berilmu dapat meraih mimpi. Penulis telah mengabdi. sebagai guru selama 35 tahun. 

Kisah yang ketiga ini juga ditunjukkan adanya prestasi  saat beliau kuliah di Universitas Sebelas Maret. Bu Kanjeng pernah menjadi mahasiwa yang aktif dan banyak sertipikat yang bisa sebagai modal melamar pekerjaan sebagi guru. Bu Kanjeng orang yang ingin terus mengejar ilmu. Keinginan memajukan siswanya telah dialaminya dengan menjadi guru di sekolah swasta dengan murid yang di bawah rata-rata. Menuju pencapaian prestasi itu proses yang harus dijalani dengan kesunguhan (18). 

Refleksi diri ini Bu Kanjeng tetap merasa belum maksimal walaupun beliau kini telah menjadi pahlawan keluarga, literasi, dan pahlawan lain untuk berbagi.

Komunikasi  adalah kunci untuk membuka hubungan apa pun. Ungkapan yang ditulis oleh Penulis beken Tere Liye ini telah menjadi patokan Bu Kanjeng untuk menghadapi siswa yang belum membayar sekolah. 

Beliau intens berkomunikasi dengan orangtua yang akhirnya membuahkan hasil. Hal tersebut bisa dibaca pada cerita keempat yang berjudul Komunikasi Guru, Siswa, dan Orangtua. 

Better late than never. Kata ini menjadi mantra Bu Kanjeng yang dapat mengantarkan beliau menjadi penulis saat memasuki usia 50 tahun dengan meluncurkan dua buku yang berjudul Kugelar Sajadah Cinta yang telah diterbitkan indie. Sedangkan buku pendalaman materi bahasa inggris telah dterbitkan secara mayor yaitu penerbit Elangga. 

Prestasi terus bergulir dengan disandangnya beliau sebagai Ratu Antologi. Bu Kanjeng berhasil menggali potensi penulis pemula menjadi penulis sejati. Banyak karya dihasilkan karena tangan dingin Bu Kanjeng. Inilah kebanggaan beliau bisa mengumpulkan naskah yang akan dibukukan. Keberhasilan berliterasi dibuktikan dengan seringnya menjadi narsum di kelas belajar menulis PGRI bersama Bapak Wijaya Kusumah. Produktif saat senja menjadikan tema saat mengisi acara di radio. 

Zaman berubah sesuai perkembangan. Saat zaman digital Bu Kanjeng ikut terlibat di dalammnya. Hal ini bisa kita simak pada judul Hidup di Zaman Digital Bersama Merdeka Belajar. Hidup dengan selalu belajar itulah sosok Sri Sugiastuti yang biasa dipanggil Bu Kanjeng.


Ada kisah unik saat Bu Kanjeng berkunjung ke Labuan Bajo sebagai peserta JAMDA IX NTT 2022. Gara-gara lupa menaruh dompet kepanikan melanda. Untung ada teman yang baik hati. Kisah ini bisa Anda baca pada hal 32. 

KIsah menarik lain adalah saat Bu Kanjeng bisa bersilahturami dengan Bu Nia. Memang Bu Kanjeng orangnya supel, baik hati dan amat bersahabat dengan siapa saja. Karena berliterasi akhirnya beliau banyak saudara yang berada dari berbagai daerah. Dengan Bu Nia seolah seperti saudara. Kala Bu Kanjeng ke Jakarta atau Bogor, selalu diagendakan beertemu dengan sabahat literasi. Saling tukar oleh-oleh menjadi acara asyik dua sahabat literasi.

Masih banyak cerita yang inspiratif dalam buku yang bersampul kuning biru ini. Tentang kisahnya yang berhasil membantu Yu Parni, kisah saat berkunjung ke adiknya dan saat mendapat rejeki anak setelah beberapa kali keguguran. Selain itu ada kisah yang menggugah yaitu beliau bisa menjalankan umroh bersama suami saat usia sudah senja. 

Alhamdulillah. Yang tak kalah asyik saat beliau aktif di LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Bubisa bersilaturahmi dengan calon walikota Solo yang waktu itu dijabat oleh Bapak Joko Widodo. Bertemu dengan Mas Gibran Rakabuming Raka yang sudah menjadi walikota Solo pun diceritakan dalam buku ini.

Kisah-kisah dalam buku ini amat bagus sebagai referensi untuk mengupgrade diri. Kata-katanya mudah dimengerti dengan bahasa sehari-hari. Buku ini bisa menjadikan pembaca termotivasi lewat jejak jiwa Bu Kanjeng. Selain itu bisa tersirat bahwa belajar tak mengenal kata terlambat. Hal ini terbukti dalam buku ini Bu Kanjeng, telah membuktikan bahwa beliau belajar dan belajar walaupun usia sudah senja.

Secara keseluruhan buku ini amat bagus walaupun ada sedikit yang perlu dibenahi. Misalnya teks tulisan kurang jelas dibaca karena kurang hitam.  Ada beberapa typo yang harus diedit. Pemakaian tag pada percakapan yang diakhiri tanda baca koma seharusnya ditulis huruf kecil.

“Kok bisa?”  Tanya Bu Kanjeng penasaran. ( hal. 13)

Seharusnya :

“Kok bisa?” tanya Bu Kanjeng penasaran (kata tanya diawali huruf kecil)

Hal sama pada hal. 22. Sebaiknya kata tanya menggunakan huruf kecil. Hal ini juga ada dalam hal. 75. Selain itu setelah tanda petik (“) tidak ada spasi.

  Wah, Mbak Iyem kecewa berat ya?” Komen Bu Kanjeng.

Seharusnya…

“Wah, Mbak Iyem kecewa berat ya?” komen Bu Kanjeng.

Selanjutnya ada  paragraf yang ditulis sama sehingga membuat pembaca bingung yaitu hal. 149 dan 154 Malik berlari sekencang mungkinke arah gunung..... dst.

Walaupun ada kekurangan yang relatif sekitit, buku ini layak dibaca dan dimiliki. Selamat membaca.

Salam literasi

19 Desember 2022

 

 

5 komentar:

  1. Tinjauan buku Bu Yanti tentang Bu Kanjeng ini bagus dan mengikuti kaidah penulisan. Cakep.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah sudah memilih buku ini.untuk diresens. Berbagai catatan dan kekurangan akan menjadi bahan evaluasi kami. Terima kasih.

    BalasHapus
  3. Resensi yang bagus Bu Budiyanti, runtut dan tertata rapi, saya bisa belajar dari tulisan ibu, terimakasih

    BalasHapus
  4. Mantap Bunda....
    Buku elok diresensi dg luar biasa.

    BalasHapus