Sabtu, 20 Mei 2023

Malam Takbiran (27)

 

Malam Takbiran (27)

Takbir berkumandang jelas dari masjid-masjid. Suaranya menyentuh hati. Arif, Galih, Yoga sibuk dengan obor yang akan dibawa saat takbiran. Mereka amat senang karena bisa ikutan takbiran setelah lama tidak ada karena pandemi.

            “Mana sih oborku?” tanya Yoga sambil membawa senter untuk mencari obor. Ia agak risau karena belum menemukan obor yang dicari.

            “Coba dicari dulu lagi mungkin lupa meletakkan,” ucap Bu Dian pelan yang ikutan mencari. Namun beberapa menit kemudian, ia dipanggil oleh kakaknya untuk diajak berangkat.

            “Obornya belum ketemu, tunggu dulu Mas,”

            “Lha obornya di sini kok ini sudah aku ambilkan!” teriak Galih.

            “Huuu kok gak ngomong sih, nih lho Adikmu mau nangis mencarinya.”

            Galih tertawa saja ketika ibunya menegurnya. Akhirnya ketiga anak Bu Dian berangkat menuju masjid. Galih dan Yoga telah memegang obor sedangkan Arif tidak membawa apa-apa.

            “Mas, nanti ikutan keliling kan?”

            “ya, Mas Arif nanti ikut dorong replika masjid.”

            Masjid At’Taqwa sudah penuh dengan anak-anak yang siap untuk takbiran. Kurang lebih ada 60 anak-anak. Ada yang membawa obor, membawa corong pengeras suara ada replika masjid. Suasana masjid tampak ramai.

            “Ayo berbaris, sebentar lagi kita berangkat!” ajak Pak Juli sambil mengarahkan agar anak-anak menuju barisan. Barisan pun lumayan panjang. Obor menyala berpendar memancar ke segala arah.

            Gema takbir terus terdengar mengiringi perjalanan anak-anak. Jalan kampung pun ramai. Mereka tersenyum bahagia menyambut lebaran. Barisan pun lumayan panjang. Selain anak-anak, para remaja dan orangtua pun ikut bergabung.

            Allah hu Akbar

            Allah hu Akbar

            Allah hu Akbar

            Walilillah Ilham

            Iring-iringian anak-anak berjalan menuju jalan kampung Kaliputih lalu sampai jalan raya. Yoga dan Galih tampak senang dengan obornya. Tiba-tiba Galih menyalip teman-temannya maju barisan depan. Obor tetap dipegang dengan tangan kanan. Sikap usilnya mulai dilakukan dengan menyenggol temannya. Tak lupa adiknya Yoga. Tentu saja hal ini membuat teman dan adiknya kesal.

            “Galih, apa-apaan sih, barisanmu mana?” tegur Arif kakaknya yang tahu adikknya selalu usil.

            “Weee wee,” balas Galih sambil menjulurkan lidahnya.

            “Hus kamu tuh di belakang, bukan sini!” bentak Dito, teman sekelas Galih.

            Kegaduhan tak terelakan lagi. Walaupun begitu takbir keliling tetap lancar walaupn sedkit berisik. Hal ini langsung disikapi Pak Juli selalu koodinator. Galih ditarik ke belakang tanpa banyak bicara.

            “Sudah kamu di sini saja bareng saya!” ucap Pak Juli tegas. Galih pun cengar cengir menuruti ajakan Pak Juli. Teman-temannya menertawakannya.

            “Syukurin!” seloroh Yoga.

            “Sudahlah tertib semua ayoo terus bertakbir!” seru Pak Yuli sambil berjalan.

            Alhamdulillah, kini anak-anak tertib hingga sampai masjid yang merupakan titik akhir. Seolah tak ada permasalahan tadi. Mereka mematikan obor dan istirahat di depan masjid. Minuman dan snack siap disantap dengan penuh kebahagiaan.

 

           

 

 

 

Jumat, 12 Mei 2023

Kupat Opor Buatan Bunda (27)


Kupat Opor Buatan Bunda (27)

 

Hari masih pagi, teras belakang rumah sudah riuh dengan celoteh tiga cowok yang sedang berlomba membuat kelontong ketupat. Bu Dian sudah mengajari berulang kali tetapi mereka tak juga bisa.

            “Kali ini aku pasti bisa,” ucap Galih percaya diri.

            “Aku pasti bisa juga,” sambung Yoga sambil terus berkutik dengan daun kelapa yang diberi Bapak pedagang tadi. Bu Dian hanya memperhatikan saja dari dapur karena sedang menggoreng kentang. Ternyata sampai kentang matang mereka belum bisa juga. Akhirnya Bu Dian mengajari lagi. Secara perlahan mereka memperhatiakan langkah-langkah membuat kelontong ketupat.

            “Horrre aku bisa, nih Bunda dicek benar tidak?” seru Arif sambil lonjak-lonjak.

            “Keren, tetapi ini dirapatkan agar beras untuk isi tidak tumpah.”

            “Siap,”

            ‘Aku diajari dong Mas!” pinta Galih dan Yoga. Ketiga anak pun saling belajar membuat kelontong ketupat. Mereka pun bangga ketika bisa membuat kelontong walaupun belum rapi. Bu Dian pun merapikan.

            “Sekarang bantuin apa lagi Bund, kami siap lho,” ucap Arif yang telah selesai membuat kelontong. Bu Dian pun senang ketika dibantu ketiga anakknya.

            “Oke, sekarang kelontong ini diisi ya, nih berasnya sudah Bunda cuci bersih,” ucap Bu Dian sambil meletakkan beras yang telah ditiriskan.

            “Ini ya, diisi dengan sendok ini sampai separuh, jangan lebih,” jelas Bu Dian

            “Kalian harus cuci tangan dulu lho!”

            Bertiga memasukkan beras dalam kelontong ketupat. Jika sudah terisi Bu Dian ngecek agar pas lalu diikat lima-lima. Hanya beberapa menit kelontong sudah terisi. Selanjutnya dimasukkan dalam panci besar yang sudah ada air yang mendidih. Secara perlahan anak-anak itu membantu memasukkan dalam panci sampai kelontong yang sudah ada isinya terendam.

            “Nah, kita tunggu sampai seperempat jam, trus matikan, ayo lihat pukul berapa sekarang?”

            “Pukul 10.00,” seru Yoga sambil memandang arloji pada dinding.

            “Oke, nanti pukul 10.15 kompor dimatikan dan panci tidak boleh dibuka selama 30 menit. Setelah itu nyalakan kompor lagi selama 15 menit!”

            Ketiga anak itu memperhatikan memasak ketupat dengan cepat yaitu dengan model 153015 maksudnya lima belas menit awal lalu matikan selama tiga puluh menit dan terakhir nyalakan kompor lagi selama 15 menit.

            “Berarti Cuma 30 menit dimasak ya Bund?”

            “Ya, tetapi usai 15 kedua didiamkan dulu baru matang,” jelas Bu Dian. Setelah sesuai dengan petunjuk ketupat pun matang. Siap ditiriskan biar dingin.

            “Masya Allah cantiknya, pas ini ketupatnya,” ucap Bu Dian sambil membelah ketupat yang sudah dingin.

            “Iya bagus, nanti malam kita bisa makan enak nih,” seru Galih dengan senangnya.

            Bu Dian pun mulai memasak opor dan sambel goreng. Sementara Arif dan kedua adiknya membantu menyembelih ayam di belakang rumah.

            Bumbu-bumbu sudah disiapkan sejak semalam. Jadi hari ini tinggal memasak. Sementara kelapa juga tinggal peras. Bau harum mulai menguar ketika Ibu tiga anak itu menumis bumbu.

            “Hemm enak ya, kapan ya selesai opor ayamnya,” guman Arif.

            “Ya, ayamnya saja beru disembelih,” ucap Arif sambil memegangi kepala ayam sambil memejamkan mata.

            “Gak udah takut, yang utama kita sudah mengucap bismillah saat menyembelih,” ucap Ayah dengan tenang. Bertiga mereka membantu mencabuti dua ekor ayam setelah dicelupkan dalam air panas. Canda tawa sambil membantu ayahnya. Tak lama kemudian dua ekor ayam dimasak.

            “Yuk, salat dhuhur dulu, setelah itu bantu Bunda bersih-bersih,” ajak Ayah Cahyo sambil mengambil air wudhu. Ketiga cowok itu pun mengikuti saran ayahnya. Lalu mereka tidur. Usai mandi dan salat asar, mereka mulai menata berbuka bersama terakhir karena besok sudah lebaran.

            Arif membantu mengambil piring lalu diletakkan di meja. Sedangkan Bunda mereka sudah menata opor ayam di atas meja makan. Azan berbunyi, mereka berbuka bersama dengan menu istimewa yaitu ketupat opor.

            “Hemm ketupat opor ayam buatan Bunda memang enak ya?” puji Pak Cahyo sambil menikmati lezatnya ketupat opor.

            “Betul Yah, tak ada duanya deh,” sambung Galih

            “Mari kita selalu bersyukur atas nikmat hari ini. Alhamdulilah kita sudah melaksanakan puasa dengan lancar!”

            “Hayoo yang batal puasa siapa, besok usai lebaran,” tanya Bunda Dian. Mereka pun saling pandang lalu tertawa bersama karena saling ejek tetapi dalam suasana gembira.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Prepegan

  

Hari ini amat cerah, Arif dan Yoga mengikuti bundanya ke pasar karena hari ini hari terakhir pasar buka sebelum lebaran. Mereka ingin mengetahui keadaan pasar saat prepegan, istilah jawa yang artinya keadaan pasar jelang lebaran yang ditandai banyaknya pedagang dadakan dan pembeli yang banyak.

Sampai di pasar suasana benar-benar ramai. Pasar pagi yang biasanya sudah berpindah dalam, kini masih ramai.

            “Hati-hati ya nang, Adiknya digandeng,” ucap Bunda Dian sambil mendekap tas kecil di dada.

            “Bunda juga hati-hati ya,” ucap Arif karena ia ingat tahun lalu tas digunting  pencopet.

            “Ya, ini,”jawab Bu Dian sambil memperlihatkan tasnya.

            Mereka bertiga berjalan dengan hati-hati karena pasar benar-benar ramai. Sampai di depan penjual kelontong ketupat, Arif berhenti dan memanggil Bundanya karena ia mendengar Bundanya akan membeli kelontong ketupat. Bunda Dian mengangguk lalu berhenti di depan penjual kelontong ketupat.

            “Berapa satu ikat Pak?” tanya Bu Dian sambil memegang kelontong ketupat yang sudah diikat per sepuluh.

            “Delapan ribu Buk,” jawab Pak Penjual sambil terus membuat kelontong dengan bersilang antara daun kelapa yang muda dan tua.

            “Beli ikat ya Pak.”

            Pak Penjual menyerahkan dua ikat kepada Arif yang duduk memperhatikan pembuatan kelontong.

            “Adik mau coba buat? silakan ambil kalau mau buat latihan,” ucap Pak Penjual sambil memberi beberapa batang daun kelapa.

            Arif dan Yoga saling pandang karena ragu lalu melihat Bundanya. Bu Dian pun mengiyakan untuk diterima.

            “Ucapkan terima kasih, nanti Bunda bantu membuatnya,” jelas Bu Dian yang memang bisa membuat kelontong.

            Arif dan Yoga senang karena keinginan membuat kelontong sudah lama sekali bisa tercapai. Selanjutnya kedua anak itu mengikuti Bundanya ke mana saja.

            “Mas, gak beli mercon itu?” tanya Yoga sambil menunjuk orang yang menjual aneka mercon.

            “Ah, kok seperti anak kecil saja,” sahut Arif,” bahaya lho kalau meledak,” sambungnya.

            “Kan itu hanya mercon yang tidak membahayakan,” sahut adiknya. Namun, kedua anak itu tidak tertarik lalu terus mengikuti bundanya.

            “Capek dan haus nih,” keluh Yoga sambil duduk di ujung pasar.

            “Hus, jangan ngomong gitu, batal lho,” kilah Arif.

            Karena belanjaan Bundanya sudah banyak akhirnya mereka pulang dengan berjalan ke depan pasar untuk naik angkot.

            “Banyak sekali sih belanjaan Bunda,” ucap Yoga.

            “Ya, Bunda harus belanja banyak untuk persediaan setelah lebaran.” ucap Bu Dian sambl berjalan menuju depan pasar. Ia melewati para penjual bunga tabur yang berjejeran. Bu Dian pun membeli bunga satu bungkus.

            “Ini apa Bund? “

            “Ini bunga telasih, nanti kita bawa ke makan nenek.

            Mereka pun mendapatkan angkot kuning untuk pulang. Arif dan Yoga pun tambah pengalaman ketika pasar sedang prepegan.