Sudah hampir pukul 04.00 si Yoga
belum bangun juga. Padahal kedua kakaknya sudah selesai makan sahur. Sebenarnya
kedua kakaknya sudah berulang kali membangunkan. Namun, tak mempan juga. Kali
Bunda Dian pun turun tangan karena sebenar lagi imsak. Ia tak ingin anakknya
tidak makan sama sekali.
Sebenarnya
sudah disiapkan semuanya. Tinggal makan. Nasi sudah diambilkan di piring agar
tidak panas. Minum puith satu gelas, susu satu gelas. Sayur dan lauk tinggal
ambi. Namun, betapa sulitnya membangunkan anak. Segera menuju kamar untuk
membangunkan lagi.
“Ayoo bangun, sudah hampir imsak
lho!” ajak Bu Dian sambil menggoyang-goyangkan tubuh Yoga.
‘Huhhhh,” elak Yoga sambil
membalikkkan tubuh. Matanya masih terpejam. Selimutnya masih rapat di tubuh.
“Nanti kalau tidak sahir besok lemas
lho!” Bu Dian terus mengajak agar anakknya mau sahur. Namun, sia-sia. Ajakannya
tidak di respon.
“Ya, sudah ini minum susu saja!”
Kali ini Bu Dian memaksa agar anaknya ,mau minum. Dengan mata terbuka sedikit,
Yoga duduk di atas kasur lalu meminumnya segelas susu coklat. Setelah itu
berbaring lagi untuk tidur.
Bu Dian geleng-geleng kepala lalu menuju dapur untuk mengambil air putih
lalu meminumnya. Begitu pun Arif dan Galih juga mengikuti ayah dan bundanya
mengakhiri sahur dengan air putih satu gelas. Selanjutnya mereka salat subuh
berjamaah.
Pukul 05.30 Yoga baru bangun. Lalu
berwudhu. Kakaknya menggoda karena adiknya tidak sahur. Namun, yang digoda diam
saja.
“Sudah..sudah sekarang semuanya
mandi lalu siap-siap berangkat sekolah,” ucap Pak Cahyo dengan pelan.
Mereka pun bersiap-siap lalu pukul
06.30 ayah mengantarkan mereka.
***
Bel tanda pulang berbunyi. Semua
siswa berhamburan keluar. Yoga pun menuju rumah dengan berjalan kaki. Ia
bersama Andi dan Taufik berjalan menuju rumah. Sampai di depan pasar dilihatnya
ramai para pedagang yang mempersiapkan dagangannya untuk dijual jelang berbuka.
Mereka bertiga pun memutuskan nongkrong di depan pasar. Tujuaannya mengulur
waktu agar cepat sore.
Air liur Yoga naik turun ketika
melihat toples-toples berisi es campur yang warna-warni. Tenggorakannya kering.
Ia pun sadar jika semalam tidak sahur. Perutnya pun rasanya melilit.
“Yog, aku semalam tidak sahur, lha
ngantuk berat, sih,” ucap Andi polos.
“Ha…kok sama, aku juga!” sambung
Yoga dengan nada keras.
Mereka berdua seraya klop. Entah
setan mana yang mempengaruhi keduanya sehingga kedua anak yang masih duduk di
kelas 2 SD itu batal berpuasa dengan dalih tidak sahur. Konon rasa haus tak
terbendung. Mereka membeli es dawet di depan pasar. Dengan tertawa
terbahak-bahak kedua bocah yang badannya kecil itu berlari ke kampung sambil
terus tertawa. Lalu mereka duduk di pojok gang.
“Ndi, nanti kalau ada orang tahu
kita batal bagaimana?”
“Ya, jujur saja deh, kan kita haus,”
jawab Andi tenang. Namun, Yoga merasa kurang tenang di hati seolah membohongi
diri sendiri dan Ayah bundanya jika ia tak berterus terang. Sedangkan Andi, teman
sebangku tenang saja.
Sampai di rumah ia biasa saja walaupun
hati kecilnya ada rasa takut . Wajahnya agak berbeda. Ia segera ganti pakai kaos
terus dolan. Namun, sesaat kemudian Bundanya memanggil namanya.
“Yoga, jujur dong dengan Bunda, pulang
sekolah kamu jajan ya?” tanya bunda dengan wajah bertanya-tanya.
Hati Yoga gusar. Ia tertunduk tak berani
menatap bundanya. Ia pun berlari keluar rumah tanpa menjawab pertanyaan bundanya.
Namun, di pintu ada ayahnya. Akhirnya ia tak bisa berkutik.
“Ada apa sih, kok kamu buru-buru,” teriak
ayahnya yang pulang dari mengajar.
Yoga tak bisa berkutik lalu tertunduk
malu lalu berkata dengan terbata-bata kalau dirinya batal berpuasa.
“Kok bunda tahu sih?”
Nih, ada bekas cendol menempel di bajumu,”
jelas Bunda. Selanjutnya Yoga minta maaf. Bunda pun menasihati agar lain kali kalau
diajak sahur jangan mengelak. Ia pun mengangguk dan berjanji tidak mengulangi lagi.
Mantab Bu, saya bisa tambah pengetahuan dari tata cara penulisannya.
BalasHapus