Suasana hari Ahad siang amat cerah.
Udara Ambarawa sejuk. Galih masih bermain kelereng di halaman tetangga.
Sementara Yoga, si ragil masih asyik dengan mainan di rumah bersama bundanya.
Sedangkan Arif masih diam di sudut kamar. Ia sedang membaca buku yang
dipinjamnya di perpustaan sekolah.
“Mas Arif, nanti ajak adik-adik ke
Masjid ya untuk mengikuti nyadran?” ucap Bu Dian sambil menggoreng temped an
telur.
“Aku, masak aku sih Buk, aku kan
masih kecil?” kilah Anggit yang kini duduk di kelas 6 di SDN Ambarawa. Badannya
kecil tinggi tapi agak malu-malu untuk berkumpul dengan tetangga.
“Kamu tuh sudah besar, sebentar lagi
kan sunat, nanti ibuk tata yang harus dibawa,”
“Ah gak mau, malu. Nanti aku kecil
sendiri, kenapa gak Ayah sih?” tolak Arif dengan wajah cemberut.
‘Ayah lembur hari ini, jadi kamu
yang menggantikannya, mau ya, nanti ada temanmu yang sama besar.”
Kali ini Arif tak bisa menolak
perintah Ibunya. Ia ingat kata-kata gurunya kalau anak harus patuh pada
orangtua. Segera ia mencari adikknya agar mau diajak ke Masjid.
“Malas ah, aku masih kecil. Mas Arif
saja ya,” jawan Galih ketika kakaknya mengajak.
“Aku juga mau ke Masjid kok Lih, aku
diajak Bapakku,” celutuh Rizki sambil tetap asyik dengan kelerengnya. Akhirnya
Galih mau juga diajak kakaknya.
Beberapa waktu kemudian, Galih dan
Arif sudah siap menuju Masjid. Mereka berdua sudah rapi menggunakan hem lengan
panjang dan celana hitam. Ibunya senyum bangga karena kedua anakknya bisa
menggantikan ayahnya yang belum juga pulang dari mengajar.
“Ini dibawa ya, kamu Mas Arif bawa
rantang ini, sedang kamu Galih bawa tas ini, “ ucap ibu Dian sambil memberikan
rantang dan satu tas. Baru saja akan membuka pintu. Tiba-tiba terdengar suara
sepeda motor ayahnya terdengar memasuki rumah.
“Asyik, ayah pulang, jadi aku gak
jadi kan Buk,” ucap Galih sambil meletakkan tas hitam.
“Eit gak boleh gitu, tunggu sebentar
ya, ayah mau pakai sarung dulu terus kita bertiga berangkat bareng,” sela Pak
Cahyo sambil melepas helm.
Akhirnya bertiga berjalan menuju
masjid at Taqwa yang tak terlalu jauh. Mereka segera bergabung dengan Bapak-bapak. Ternyata ada juga anak-anak.
Galih pun tersenyum karena ada temannya.
“Sini duduk sini,” ajak Pak Cahyo
sambil meletakkan rantang di tikar.
Galih
dan Arif duduk bersila bersebelahan dengan ayahnya. Masjid pun makin banyak
yang berdatangan. Depan masjid sudah penuh para ibu. Mereka duduk di tikar
saling berhadapan.
Arif hanya diam ketika ayahnya
menaruh daun pisang di dasaran. Kemudian nasi diletakkan pada atas daun pisang.
Diikuti yang lainnya. Selanjutnya semua lauk diletakkan di tas nasi yang telah
ada daun pisang. Berbagai menu ada. Mata Galih memandang nasi dengan lauk yang
memanjang ke selatan di hadapan para bapak ibu. Makanan digelar dengan aneka
lauk di atasnya.
Tak lama kemudian Pak Abdul memimpin
doa. Doa ditujukan untuk para leluhur. Semua warga mengangkat kedua tangannya.
Galih dan Arif mengiukti saja sambil melirik anneka lauk yang menggoda iman.
“Kamu milh apa Lih,” tanya ayah
sambil mengambil daun pisang selembar lalu dibentuk seperti pincuk.
“Telur dan bakmi saja Yah.”
“Aku juga sama,” saut Arif yang
memang tidak suka pedas.
Depan masjid sangat ramai. Semuanya
menikmati acara nyadran yang dilakukan setiap tahun jelang Ramadan.
Hari telah sore, akhirnya mereka
pulang dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan Si Galih bertanya apa makna
acara tadi.
“Ya, acara nyadran adalah acara
tradisi, intinya mengirim doa untuk leluhir kita,”
“Tadi kamu berdoa tidak Lih,” tanya
Arif yang lebih paham.
:Heee,”
ucap Galih sadar diri tidak berdoa karena tadi guyon.
Tak terasa mereka sampai rumah. Bu
Dian memuji kedua anakknya karena mau ikut nguri-uri budaya jawa yang masih
ada. Anak cucu yang melestarikan.
#Tatantangan Menulis Ramadan
#2
Seru sekali ya bu, sambil mempererat silaturahmi
BalasHapus