Kamis, 23 Maret 2023

Nyadran di Kampung (2)



            Suasana hari Ahad siang amat cerah. Udara Ambarawa sejuk. Galih masih bermain kelereng di halaman tetangga. Sementara Yoga, si ragil masih asyik dengan mainan di rumah bersama bundanya. Sedangkan Arif masih diam di sudut kamar. Ia sedang membaca buku yang dipinjamnya di perpustaan sekolah.

            “Mas Arif, nanti ajak adik-adik ke Masjid ya untuk mengikuti nyadran?” ucap Bu Dian sambil menggoreng temped an telur.

            “Aku, masak aku sih Buk, aku kan masih kecil?” kilah Anggit yang kini duduk di kelas 6 di SDN Ambarawa. Badannya kecil tinggi tapi agak malu-malu untuk berkumpul dengan tetangga.

            “Kamu tuh sudah besar, sebentar lagi kan sunat, nanti ibuk tata yang harus dibawa,”

            “Ah gak mau, malu. Nanti aku kecil sendiri, kenapa gak Ayah sih?” tolak Arif dengan wajah cemberut.

            ‘Ayah lembur hari ini, jadi kamu yang menggantikannya, mau ya, nanti ada temanmu yang sama besar.”

            Kali ini Arif tak bisa menolak perintah Ibunya. Ia ingat kata-kata gurunya kalau anak harus patuh pada orangtua. Segera ia mencari adikknya agar mau diajak ke Masjid.

            “Malas ah, aku masih kecil. Mas Arif saja ya,” jawan Galih ketika kakaknya mengajak.

            “Aku juga mau ke Masjid kok Lih, aku diajak Bapakku,” celutuh Rizki sambil tetap asyik dengan kelerengnya. Akhirnya Galih mau juga diajak kakaknya.

            Beberapa waktu kemudian, Galih dan Arif sudah siap menuju Masjid. Mereka berdua sudah rapi menggunakan hem lengan panjang dan celana hitam. Ibunya senyum bangga karena kedua anakknya bisa menggantikan ayahnya yang belum juga pulang dari mengajar.

            “Ini dibawa ya, kamu Mas Arif bawa rantang ini, sedang kamu Galih bawa tas ini, “ ucap ibu Dian sambil memberikan rantang dan satu tas. Baru saja akan membuka pintu. Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor ayahnya terdengar memasuki rumah.

            “Asyik, ayah pulang, jadi aku gak jadi kan Buk,” ucap Galih sambil meletakkan tas hitam.

            “Eit gak boleh gitu, tunggu sebentar ya, ayah mau pakai sarung dulu terus kita bertiga berangkat bareng,” sela Pak Cahyo sambil melepas helm.

            Akhirnya bertiga berjalan menuju masjid at Taqwa yang tak terlalu jauh. Mereka segera bergabung dengan  Bapak-bapak. Ternyata ada juga anak-anak. Galih pun tersenyum karena ada temannya.

            “Sini duduk sini,” ajak Pak Cahyo sambil meletakkan rantang di tikar.

            Galih dan Arif duduk bersila bersebelahan dengan ayahnya. Masjid pun makin banyak yang berdatangan. Depan masjid sudah penuh para ibu. Mereka duduk di tikar saling berhadapan.

            Arif hanya diam ketika ayahnya menaruh daun pisang di dasaran. Kemudian nasi diletakkan pada atas daun pisang. Diikuti yang lainnya. Selanjutnya semua lauk diletakkan di tas nasi yang telah ada daun pisang. Berbagai menu ada. Mata Galih memandang nasi dengan lauk yang memanjang ke selatan di hadapan para bapak ibu. Makanan digelar dengan aneka lauk di atasnya.

            Tak lama kemudian Pak Abdul memimpin doa. Doa ditujukan untuk para leluhur. Semua warga mengangkat kedua tangannya. Galih dan Arif mengiukti saja sambil melirik anneka lauk yang menggoda iman.

            “Kamu milh apa Lih,” tanya ayah sambil mengambil daun pisang selembar lalu dibentuk seperti pincuk.

            “Telur dan bakmi saja Yah.”

            “Aku juga sama,” saut Arif yang memang tidak suka pedas.

            Depan masjid sangat ramai. Semuanya menikmati acara nyadran yang dilakukan setiap tahun jelang Ramadan.

            Hari telah sore, akhirnya mereka pulang dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan Si Galih bertanya apa makna acara tadi.

            “Ya, acara nyadran adalah acara tradisi, intinya mengirim doa untuk leluhir kita,”

            “Tadi kamu berdoa tidak Lih,” tanya Arif yang lebih paham.

            :Heee,” ucap Galih sadar diri tidak berdoa karena tadi guyon.

            Tak terasa mereka sampai rumah. Bu Dian memuji kedua anakknya karena mau ikut nguri-uri budaya jawa yang masih ada. Anak cucu yang melestarikan.

 

#Tatantangan Menulis Ramadan

#2

1 komentar: