|
Gambar diambil dari www.geraldirizki |
Sudah hampir setengah jam Rara duduk sendiri di bangku panjang pojok
terminal Ambarawa. Dingin. Hujan yang mengguyur siang itu tak menyurutkannya untuk bertemu dengan teman barunya. Ya … Rara siswa baru kelas 1 SMA itu harus menemui Ridho, cowok ganteng
yang terkenal dengan sebutan cowok
bandel. Ridho menjanjikan meminjamkan novel yang akan dijadikan tugas untuk membuat resensi. Sebenarnya banyak temannya
yang menasihati agar ia tak dekat-dekat dengan Ridho. Namun semuan
ocean temannya tak masuk
di hati. Baginya asal kita berbuat baik, temannya juga baik.
Berkali-
kali ia buka HP-nya, tak ada kotak masuk apa
pun. Berkali-kali pula ia
menghubunginya, tetapi tak juga diangkat panggilannya. Ia jengah. Bosan. Ia tengok kanan kiri juga tak ada
orang yang menemuinya. Entah sudah berapa kali ia menghitung bus keluar masuk terminal. Koran yang ia beli sudah lusuh karena dibolak balik Bibirnya kering. Bau gorengan dari warung dekatnya telah menusuk
hidungnya dengan aroma menggoda. Membuat perut gadis berwajah imut itu berdendang.
Hatinya mulai teracuni dengan ocean temannya tempo hari. Huh bengsek. Gumamnya sambil melangkah gontai tinggalkan terminal. Wajahnya berlipat. Disaruk-saruklah batu sebesar kelereng di
depannya. Kesal. Cowok zaman sekarang memang gak ada
yang dipercaya.
Gerimis tiba-tiba datang. Koran baru ia tudungkan
di atas kepalanya. Beberapa langkah sampailah ia
di depan gedung bercat kuning. Banyak orang yang berteduh di situ. Awan hitam tebal menggantung
di langit. Sebentar
kemudian hujan deras pun datang. Rara kedinginan berdiri
di antara orang yang juga berteduh. Ia kibaskan koran yang agak basah lalu ia buka koran itu. Dan saat dibuka, tiba-tiba ada cowok yang ikut nimbrung membaca koran
yang dipegangnya.
“ Koran baru ya Mbak? Deg …
Rara menoleh ke suara di belakangnya.
“Mbak ... ditanya kok diam saja?”
“Eh… iya, mau pinjam ya?” jawab Rara sekenanya sambil melirik cowok yang lumayan
ganteng.
‘Enggak kok,
aku sudah baca tadi
di dalam,” tangan cowok berambut cepak itu menunjuk ke belakang.
“Di dalam?” Rara menoleh gedung belakangnya melihat papan nama yang terpampang jelas di dinding
atas. “Perpustakaan?” tanyanya dalam hati. Hatinya berbunga karena dari dulu
saat masih tinggal di Klaten ia selalu pergi ke perpustaan daerah. Namun,
beberapa bulan tinggal di Ambarawa belum tahu jika ada perpustakaan, yang
merupakan tempat hiburan bagi dia.
“Yuk … masuk saja,
nanti Mbak dapat pinjam buku atau baca koran baru. Koran yang basah dibuang saja atau letakkan
di sini nanti biar kering sendiri,” ajak cowok berkaus gambar bola.
“Eh iya,” katanya gugup. Kebetulan ia akan mencari novel untuk bahan tugas membuat resensi Akhirnya Rara dan cowok tadi masuk ruang. Setelah menulis data pengunjung mereka masuk beriringan
masuk ke perpustakaan yang pengunjungnya lumayan banyak.
Senyum tersungging di bibir gadis kelas 1 SMA itu,
benar-benar kejatuhan bintang. Impiannya untuk bergelut dengan buku kembali terisi
setelah vakum beberapa bulan. Hem kalau
tahu dari dulu ia tak usah repot- repot minjam pada temannya itu.
“Hem, cowok brengsek !!”
“ Siapa yang brengsek, Mbak?”
“Ah enggak kok…
.” Rara tersipu, tak diduga ucapannya terdengar oleh cowok yang baru dikenalnya
itu sambil melirik Rara. Hati Rara terkesiap sejenak melirik pemuda yang teduh,
sopan itu.
“Yuk ... carikan aku novel ya? Rara mengalihkan pembicaraan. Akhirnya mereka berdua dengan mudah menemukan novel karena berpuluh-puluh novel tertata
rapi di rak paling depan. Mereka lalu duduk sebangku di sudut perpustakaan.
“Eh maaf kita belum kenalan,
namaku Tommy
dan kamu?” cowok itu mengulurkan tangannya.
“Aku Rara…,”
“Kamu… ,“ Mereka berbarengan ngomong sehingga keduanya malah diam semua. Akhirnya Rara mengawali berbicara “Kamu sering pergi ke sini ya?”
“Ya, tiap hari Sabtu Insya Allah aku ke sini untuk membaca koran dan buku lain tuk referensi tulisanku.”
“Oh jadi Mas Tommy ini penulis, ya?”
“Ah gak juga cuma senang nulis saja,”
“ Iya tuh namanya juga penulis,”
Walau baru sebentar mereka kenalan, tampak keakraban sudah
terlihat. Rara tak sungkan-sungkan bertanya tentang resensi. Tommy pun
mengajarinya secara singkat. Pembicaraan menjadi hangat. Ternyata mereka mempunyai hoby
yang sama yaitu membaca. Rara benar-benar bersyukur dapat ilmu yang banyak dari teman
barunya. Tak terasa perpustakkan sudah hampir tutup. Mereka memutuskan pulang. Beriringan mereka keluar setelah meminjam dua
novel dengan menggunakan kartu teman barunya karena ia sendiri belum punya kartu.
Mereka pun berpisah.
“Kutunggu besuk Sabtu siang di sini ya,” Tommy melambaikan tangan. Rara mengangguk dengan senyum mengembang. Sesaat
Riri ingat akan Ridho. Dibukanya HP. Ternyata tak juga SMS masuk atau penggilan
dari Ridho. Rara sekarang jadi yakin jika cowok itu benar tak bisa dipercaya.
***
Ridho masih berdiri mematung di depan Gedung Pemuda
Ambarawa setelah beberapa jam menunggu Rara. Di samping warung bakso ia
mendekap dua novel. Pandangannya tak lepas pada gedung di seberang jalan. Ia
tadi melihat Rara masuk perpustakaan. Sebenarnya bisa saja ia menyusul tapi tidak
mungkin dengan baju basah masuk ruang perpustakaan.
“Ridho ... kau di sini, kenapa, tahukah, aku nunggu
hampir pingsan tahu, sudahlah aku tahu siapa
dirimu kau memang brengsek,” tanpa bertanya Rara menceracau tanpa jeda. Ia
kehilangan kendali. Tak peduli banyak orang menatapnya dengan penuh tanda
tanya.
“Rara ... tunggu, dengarkan penjelasanku, ini buku
pesananmu sudah kubawakan. Dan aku sudah dua jam menunggu di sini, maafkan aku
karena ....”
“Sudahlah jangan banyak alasan, simpan baik-baik novelmu
itu, aku sudah dapat novel yang kalah lebih bagus dari novelmu yang dekil dan
kotor itu.” sanggah Rara sambil pergi tinggalkan Ridho.
Kata-kata Rara menohoknya, membuatnya hatinya
tercabik-cabik. Ridho pun pulang dengan sejuta luka merambat memenuhi hatinya
yang kian berat. Ia jadi ingat kata-kata ibunya bahwa kesabaran akan membawa
kedewasaan diri. Ia letakkan novelnya, bergegas menemui Ibunya yang terbaring
sakit. Berkali-kali ibunya dibujuk untuk dibawa ke rumah sakit namun tak juga
mau karena biaya.
Esok harinya, Ridho tidak masuk sekolah karena ia harus
mengantar ibunya ke rumah sakit karena pagi setelah salat subuh ibunya pingsan.
Ia pun SMS pada Budi, teman sebangkunya untuk menyampaikan pada wali kelasnya agar
mengizinkannya sekaligus untuk menyampaikan kata maaf pada Rara.
Rara pun jadi menjadi merasa bersalah setelah diberitahu
Budi perihal keterlambatan Ridho menemuinya kemarin. Sepulang sekolah ia
bergegas menemui Ridho di rumah sakit. Betapa kagetnya setelah ia sampai di rumah sakit, Ridho dan
Tommy sedang bercakap-cakap akrab sambil membawa novel pinjaman dari
perpustakaan.
“Ridho ... maafkan saya. Mana novelnya kemarin, yuk besuk
kita sama-sama ke perpustakaan ya?” ucap Rara sambil menerima novel dari Ridho.
Selesai
baca juga: Kiat Hadapi Ujian Nasional