Malam telah larut. Dingin menyusup kalbu. Hanya suara desau angin berpadu suara televisi yang menayangkan film fantastis. Sesaat saya mendengar suara suami berbicara sendiri. Segera aku beranjak dari dudukku lalu menengok suami yang lebih dahulu tidur. Aku mengira suami _menggigau. Namun, ternyata tidak. Suami sedang berbicara dengan orang lain di HP -nya.
Aku menyimak. Pasti ada sesuatu yang penting jika ada telepon tengah malam.
"Mas Joko kapundut," ucap suami lirih. Seketika jantungku berdegup.
" Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un," sahutku sambil duduk di tepi ranjang. Aku merunduk. Terlintas beberapa bulan lalu aku dan suami sempat menengok. Badannya semakin kurus. Berulang kali sudah berobat dan melakukan kemoterapi.
Pagi harinya aku sempatkan untuk mengajar jam 1, 2 karena gak mungkin pagi sekali ke Klaten. Pukul 09.00 suami menjemput ke sekolah. Aku sudah berganti baju hitam.
Kami meluncur berdua menyusuri jalanan yang mulai ramai. Musik merdu mengiringi perjalanan kami. Tepat pukul 10.30 kami sampai di Jatinom bersamaan dengan Mbak yang rumahnya Rembang. Alhamdulillah kami bisa bersamaan.
Tenda hitam berdiri tegak di halaman rumah bercat hijau. Kursi -kursi berjajar rapi dengan wajah-wajah duka menyelimuti siang itu. Rangkaian bunga bertuliskan ucapan bela sungkawa berjajar memenuhi halaman.
Dalam diam kami berpelukan dengan Mbak yang telah kehilangan suami. Sesak dada ini. Ada titik bening basahi pipi. Tampak Mbakku kuat dan tegar. Ia menyalami para tamu. Namun aku yakin duka mendalam terselip di lubuk hatinya. Lelaki yang telah memberi tiga cucu ini berbaring tak bergerak. Kerudung hitam menyelimutinya. Ia telah lepas dari rasa sakit. Sudah di sisiNya dalam kedamaian.
"Sugeng tindak sowan Gusti Mas Joko. Hari ini hari Jumat. Semoga Kau bahagia di sisiNya dan Husnul khatimah," ucapku lirih
Selepas Jumatan prosesi pemakaman berjalan lancar. Iring-iringan kami di belakang rombongan. Berjalan menuju makam yang tak jauh dari rumah duka. Tak diduga kami kalah cepat. Para takziah sudah banyak yang sampai di pemakaman.
Aku memasuki makam untuk melihat langsung pemakaman. Kedua anak Mas Joko tampak tegar menyaksikan proses pemakaman. Gundukan tanah kini penuh dengan bunga mawar. Setelah doa bersama dengan dzikir tahlil kami tinggalkan makam untuk kembali ke rumah duka.
Tamu terus berdatangan. Kami berusaha bertahan di rumah duka hingga tamu berkurang. Kami menyimak kala Mbak Sus bercerita detik-detik terakhir jelang Mas Joko dipanggilNya.
"Jangan menangis ya. Pandangi wajahku terus, " ucap Mas Joko pada istri tercinta yang setia mendampingi.
" Iya aku di sini terus Kung, bersamamu," jawab sang Istri yang kini sudah pensiun sebagai kepala sekolah SD.
Kemudian Mbak bercerita lagi. setelah ada pesan itu Ia tak berani meninggalkan suami tercinta. Ditemani keponakan, ibu yang wajahnya kearab-araban ini selalu berdoa untuk kesembuhan suami. Sesaat kemudian ia membetulkan selang infus. Baru saja tidak memandang suami sedetik, tiba-tiba sang suami terkulai tak bergerak. Dipanggilnya berulang kali tak ada kata yang terucap. Mbakku langsung berteriak memanggil
dokter. Dokter memeriksa. Namun, Allah telah memanggilnya. Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un.
Mbakku langsung menjerit sejadi-jadinya. Sesaat kemudian ia teringat pesan suaminya untuk tidak menangis. Segera ditutup mulutnya rapat-rapat.
"Oh berarti ucap Mas Joko adalah pesan terakhirnya sebelum pergi tinggalkan kami. Saya baru sadar saat itu," lanjut cerita Mbak Sus sambil mengusap air mata.
Mbak pun sudah ikhlas melepas suami tercinta.
Hingga akhirnya pukul 16.00 kami satu keluarga besar Sukiman mohon pamit. Ucapan bela sungkawa kami ucapkan. Tangis pun pecah. Mbak Sus tak kuasa menahan tangis. Sesaat aku pun hanya bisa diam. Ikut larut dalam duka mendalam.
Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kita semua pasti akan kembali." (Q.S Al-Baqarah: 156)
Ambarawa, 5 Oktober 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar