September
ceria
September
bahagia
September berduka
Itulah yang terjadi pada bulan September. Ada suka dan duka. Oleh karena itu jika bulan September tiba, rasanya berbagai gejolak dengan rasa yang campur aduk terus mengusik.
Oke...
aku akan cerita yang pertama dulu, yang
kualami pada awal bulan 1 September, 29 tahun lalu. Hemm lama ya? Cerita yang
benar-benar berkesan saat belum ada HP.
Inilah cerita saat aku hamil anak kedua.
"Mas, aku ambil cuti jelang lahiran saja ya. Biar bisa merawat anak kita lebih lama?" tanyaku saat usia kandunganku tujuh bulan. Suami menyetujui.
Kuelus- elus perutku yang sudah membuncit karena usia kehamilan memasuki sembilan bulan. Hari itu tanggal 31 Agustus. Perkiraan HPL 10 September.
"Besok sepulang sekolah, saya ke Rembang untuk mengambil popok dan lainnya untuk perlengkapan dedek nanti, " ucap Suami sambil mengelus perutku yang sudah besar. Bahagia rasanya
Sudah menjadi kebiasaan keluarga kami kalau usai melahirkan, popok, gurita, gedong yang jumlahnya banyak selalu disimpan rapi. Nanti keluarga lainnya membutuhkan bisa dipakai.
Dulu waktu anak pertama juga begitu. Membeli popok dan lainnya secukupnya saja. Lainnya ambil dari Mbakyu yang berada di luar kota. Hal ini kami lakukan karena belum ada popok sekali pakai. Saat punya bayi, popok dalam jumlah banyak benar-benar dibutuhkan. Mengingat keuangan waktu itu belum longgar ada tawaran seperti ini kami iyakan saja.
Pengalaman saat punya anak pertama, popok kami kekurangan. Sampai-sampai harus dikeringkan dengan kurungan bambu yang di dalamnya ada lampu petromax. Maklum kami tinggal di lereng gunung Ungaran. Hawanya benar-benar dingin. Hampir tidak pernah ada panas.
Hampir setiap menit anak pipis sehingga membutuhkan popok yang banyak. Karena pakai susu tambahan, pipisnya sering banget.
Ah zaman sekarang sih bisa cepat kering karena ada mesin cuci sekaligus pengering. Apalagi saat ini ada popok sekali pakai. Beda jauh dengan dulu.
Kembali cerita tadi.
Usai pulang sekolah, kebetulan tanggal 1, bertepatan dengan gajian bulanan, suami berangkat ke Rembang dengan naik kendaraan umum. Dari depan rumah, suami bisa langsung mendapatkan angkot karena rumah kontrakan memang di jalur jalan utama Sumowono Ambarawa.
"Hati-hati Mas," ucapku sambil menggamit anak pertama yang sudah berumur tiga tahun.
"Ya, hati-hati di rumah." Aku mengangguk lalu masuk rumah bersama sulungku dan ART yang bernama Sakdiyah. ART yang sudah lama bersamaku. Dialah yang momong anak pertama saat kami bekerja. Remaja berusia 17 tahun itu rajin, supel dan tak banyak membantah. Dengan anak kecil selalu sabar dan sayang
Jelang magrib, kami bertiga bercengkrama di depan televisi. Anak sulungku bercanda dengan Mbak Sakdiyah sementara aku bersandar di kursi sambil melihat tayangan televisi.
Waktu itu tak ada HP jadi tidak tahu apakah suami sudah sampai tujuan atau belum. Hanya doa saja dari jauh.
Tak lama kemudian si Sulung mendekat sambil wajahnya ditempelkan di perutku. Batinku ia pasti senang akan punya adik.
Tanpa
diduga dirinya menepuk perutmu agak keras. Tidak tahu apa sebabnya. Memang
tidak sakit tetapi membuat aku kaget seketika.
Langsung
aku suruh Mbak e untuk mengajaknya
jalan-jalan di samping rumah agar tidak menangis lagi. Benar juga ia tak nangis
lagi.
Menit demi menit kok perutku makin kencang. Seperti ada tanda-tanda melahirkan. Rasanya juga pengen pipis terus.
"Ya Allah, benarkah aku akan melahirkan. Padahal suami tak ada di rumah. Bagaimana ini?"
Aku bergumam sendiri sambil mengingat-ingat bahwa seharusnya belum saatnya. Haruskah maju 10 hari? Umpama tahu maju secepat ini tak akan aku izinkan suami pergi.
Sesaat panik tetapi hati dibuat tenang dan pasrah pada-Nya. Allah akan menolongku.. Benar juga lama kelamaan perut makin sakit. Rasanya sama saat melahirkan anak pertama. Makin lama makin kencang. Tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Tampak ada plek merah di CD.
" Wah mau melahirkan ini, "gumamku. Haruskah melahirkan tanpa ditunggui suami?Rasanya ingin memanggil suami untuk mendekat dan juga minta pertolongan untuk ke rumah Bu Bidan. Namun, tak mungkin bisa. Saat itu belum ada HP atau telepon rumah.
Sebelumya
kami belum menentukan secara pasti mau melahirkan di mana. Umpama ke Ambarawa
masih jauh. Di dusun kami hanya ada bidan desa. Tak ada juga pikiran kalau
melahirkan di rumah sakit waktu itu. Kebanyakan teman-teman satu kantor
melahirkan di bidan. Pikir kami masih sepuluh hari lagi. Nanti dirembug lagi.
Karena tak kuat aku ke berusaha berjalan menuju kamar Diah yang sedang ngeloni si Sulung. Kutepuk-tepuk pundaknya agar ia bangun.
"Nopo Bu,"_ada apa Bu? ucap Diah sambil mengucek mata. Ia segera bangkit. Tanggap akan keluhanku.
"Mbak,
tolong kamu pergi ke rumah Pak Paat
untuk minta bantuan panggilkan Bu Bidan. Aku mau melahirkan nih."
"Nggeh
Buk," jawabnya singkat dan langsung berdiri lalu keluar rumah lewat pintu
belakang. Menuju rumah sebelah yang merupakan pemilik rumah kontrakan. Jadi
beruntung rumah kontrakan kami masih
satu halaman dengan rumah Pak Paat.
Aku langsung menuju kamar depan. Kucari barang yang bisa dipersiapkan untuk melahirkan. Kucari kain yang bisa untuk lemek Yang ada dalam pikiran saat itu adalah melahirkan di rumah. Satu-satunya Bu Bidan yang terdekat adalah Mbak Yayuk ( saat ini sudah almarhum, Semoga beliau Husnul khatimah)
Tak
lama kemudian, Ibu Paat masuk rumah. Membantu mempersiapkan segala sesuatunya
untuk melahirkan. Beberapa Jarit, popok dan baju bayi telah aku siapkan. Untung
sudah beli beberapa perlengkapan bayi.
Sementara
anakku sulung dipindahkan di kamar depan, aku berbaring di kamar tengah sambil
menunggu Bu Bidan.
Hanya
hitungan menit, Bu Bidan datang dengan membawa peralatan. Aku masih mengerang
kesakitan. Keringat dingin mulai basahi keningku. Hanya doa yang selalu terucap
di bibir.
Sesaat kemudian aku dibantu Bu Bidan untuk mengejan. Rasa sakit benar-benar kurasakan. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengejan. Walaupun tanpa ditunggu suami atau ibu seperti saat kali pertama melahirkan, hati tetap tegar.
Akhirnya tengah malam lahirlah bayi mungil dengan selamat. Tangis bayi memenuhi ruangan kami. Senyumku merekah. Hati bersyukur pada-Nya.
"Alhamdulillah,
terima kasih ya Allah. Kau beri pertolongan padaku dan bayiku." Mataku
berkaca-kaca, haru campur bahagia.
"Mas, anak kita telah lahir dengan selamat," bisikku seolah ingin mengabarkan berita bahagia. Kupandangi bayi kecilku setelah dibersihkan dengan berat 3,2 kg. Kuelus-elus pipinya yang masih merah. Rasa sakit yang kurasakan hilang. Malam itu aku bahagia bisa bersanding dengan bayiku yang ganteng.
Segera keperluan usai melahirkan dibantu Bu Bidan dan Pak Paat, termasuk merawat ari-ari. Alhamdulillah berkat tetangga yang baik hati segalanya lancar.
Pagi harinya aku dan Mbak Diah saling berbagi tugas untuk memulai aktivitas dengan dua anak. Untung anak sulung tak rewel. Pagi harinya langsung aku dicarikan tukang pijat bayi yang biasa merawat kala awal lahir sampai beberapa hari. Alhamdulillah berkat bantuan tetangga Mbah e tukang pijat datang.
Hari telah sore ketika tiba-tiba suami pulang. Suami kaget kala masuk rumah sudah ada aroma bedak, minyak telon.
"Alhamdulillah
ya Allah. Kau selamatkan anak dan ibunya," ucapnya sambil tersenyum
bahagia menimang anak keduaku. Kebahagiaan meliputi keluarga kecilku di awal
September.
Selamat ulang tahun anakku. Semoga sisa hidup penuh berkah, panjang umur, sehat dan segera diberi momongan oleh Allah SWT. Aamiin
2
September 2021