Suara Bu Dian yang
lantang tak dapat meredam riuhnya
siswa-siswa di kelas IX A yang sedang
mengikuti pelajaran bahasa Indonesia siang itu. Semua siswa tertawa serempak bagai koor. Semua
mata memandang satu arah, Salim. Siswa
yang duduk paling belakang itu
tidur terpekur dengan kepela tertelungkup di meja. Dengkurnya masih tersisa
kala Bu Dian mendekat.
“Salim…Salim.” tegur Bu Dian sambil mengoyang-goyangkan
tubuh Salim yang kerempeng berbalut baju pramuka yang sudah lusuh.
Salim
menggeliat seperti ular yang akan keluar
dari persembunyiannya. Badannya lemas, perlahan berusaha mengangkat kepalanya
yang plontos lalu tangannya diturunkan.
Wajahnya pias setelah tahu semua temannya mentertawakannya.
“Maaf Bu Guru,”
kata Salim polos sambil mengelap liur di sudut bibir dengan tangan kirinya.
Matanya yang cekung tersimpan kantuk yang berat. Salim merutuki diri sendiri,
mengapa hal ini terulang lagi. Rasa lelahnya memang membuat dirinya mudah terkantuk
di siang yang panas dengan semilir angin yang berembus lewat jendela kelas.
“Salim…Salim
apa sebenarnya kaulakukan di rumah, setiap hari kok kamu ngantuk melulu. Selain
itu ibu juga lihat kamu sering terlambat., ingat Salim sebentar lagi ujian”
ucap Bu guru bahasa Indonesia itu tegas.
Salim mengangguk takzim, tertunduk lesu dengan menyimpan
sejuta kata yang siap meletup untuk disampaikan pada gurunya itu. Ingin mengungkapkan
segala yang menjerat hatinya. Namun, tiba-tiba tenggorokannya tercekat,
bibirnya terkatup rapat. Ia tak bisa menyingkap isi hatinya. Ia tak ingin semua
tahu akan kehidupan pribadinya. Tak ingin ia dianggap cengeng, tak mau minta
belas kasihan. Lebih baik ia diam membisu dan bertekad untuk memperbaiki
kesalahannya.
Bel berdentang mesra, semua siswa berhamburan keluar
untuk melepas lelah setelah seharian dijejali soal-soal yang menguras otaknya.
Sebagian besar siswa menyerbu kantin. Hanya beberapa anak saja yang pergi ke
perpustakaan. Terkecuali Salim, biasanya ia pergi ke mushola sekolah untuk
salat dhuha. Namun, kali ini tidak. Ia tetap berada di kelas.
“ Salim…dengarkan ya, Ibu sangat kecewa dengan
perkembanganmu sebulan ini. Coba lihat, nilaimu tryout menurun drastis, “ kata
wali kelasnya mendesah sambil membuka buku nilai untuk ditunjukkan pada Salim.
“Maafkan Salim Bu.” Salim menarik napas perlahan
“Hem…
sebentar lagi ujian. Kau ingin lulus kan? katanya kamu ingin jadi juara kok
kamu nglokro seperti ini. Salim… Ibu ingin kamu segera mengubah kesalahan
yang selama ini kaulakukan!” suara Bu
Dian lembut.
Salim tertunduk lesu. Hatinya teriris. Ia menyadari semua
perbuatannya tak sebaik dulu. Namun, apa dikata ia harus membantu orangtuanya
di pasar. Sebenarnya ayahnya sudah berkali-kali menasihati agar tidak usah ikut
ke pasar untuk menyapu. Tapi hati kecilnya tak bisa membiarkan ayahnya yang
renta untuk menyapu pasar seluas itu. Salim tak ingin ayahnya kecapaian lantas sakit.
“Salim, Ayah ingin kau tidak usah lagi membantu menyapu
di pasar. Biarlah Ayah sendiri saja. Ayah masih kuat Le.. Ayah ingin kamu ngepenke
sekolah saja, nggak usah mikir pekerjaan Ayah. Ayah melakukan pekerjaan seperti
ini sudah bertahun- tahun Le.
“Tapi Yah…!” Salim membantah.
“Tidak
usah tapi-tapi. Ayah ingin kamu nanti tetap melanjutkan sekolah, Ayah ingin kamu
pandai, jangan seperti Ayah dan Emakmuyang
tidak pernah kenal sekolah.
“Salim kok diam?” tanya Bu Dian menyadarkan lamunannya.
“Iya
saya mengerti, dan InsyaAllah saya akan mengubahnya,” jawab Salim lirih.
Walaupun sudah dinasihati Ayah dan Emaknya, Salim tetap
membantu ayahnya menyapu pasar. Baginya jika dialihkan orang lain berarti
mengurangi penghasilan ayahnya. Apalagi ayahnya kini sering sakit-sakitan. Ia
tak tega melihat ayahnya membanting tulang sendiri padahal ia mampu
membantunya.
Selepas subuh seperti biasanya ia bergegas mengayuh
sepedanya ke pasar yang hanya berjarak 300 meter dari rumahnya. Ia tidak bilang
sama ayahnya jika mendahului. Pasar masih sepi hanya penjaga pasar yang masih
tidur di los yang kosong. Segera ia letakkan tas dan seragam sekolahnya. Hari
ini ia langsung menuju sekolah tanpa pulang dulu seperti dulu. Lalu mengambil
sapu utuk menyapu. Tak peduli pasar sepi, ia melakukan hal ini semata-mata
baktinya pada orang tuanya. Ia berharap ayahnya datang, pasar sudah selesai
tersapu. Ia tengok jam besar yang berada di dinding atas.
Hem…
baru jam enam. Kurang sedikt lagi selesai. Gumamnya. Ia
berhenti sebentar tuk menenggak air mineral yang dibawanya dari rumah. Baru
saja selasai minum tiba-tiba ada dua lelaki berbadan tambun mendekat. Ia
beringsut mundur. Perawakan dan wajah dua orang yang tak dikenal itu menakutkan
dengan tatapnya mata penuh tanda tanya. Salim siap lari agar terhindar dengan
dua orang yang kelihatan mencurigakan.
“Hem… jangan lari cah Bagus, kami tidak akan mengganggumu.
Kami hanya ingin bicara baik-baik padamu, “ suara lelaki itu menggelegar.
“Jangan.. jangan ganggu aku, maaf saya harus menyapu
lagi. Salim meronta ingin melepas cengkraman tangan orang yang belum
dikenalnya.
“Hem
..dengarkan baik-baik, kami berdua tidak akan menganggumu tapi ingin memberi hadiah
padamu, “ kali ini suara kedua lelaki itu berubah drastis menjadi suara lembut. “Dengarkan ya… nih aku disuruh
majikanku untuh kasih uang ini padamu karena kau telah mengembalikan dompet
majikanku yang hilang seminggu lalu. Kau kan yang menemukan dompet itu seminggu
yang lalu? Nah, terimalah!” beberapa lembar uang ratusan ribu diangsurkan oleh
pemuda itu.
Majikanku juga berpesan agar mulai hari ini sampai satu
minggu ke depan, memberi tugas temanku
ini untuk menyapu pasar ini. Dan orang tuamu tetap gajian biasa.”
lanjutnya sambil menepuk teman sebelahnya.
“ Apa?!” mata Salim berkaca-kaca. Dengan gemetar
diterimanya uang yang sangat berarti baginya. Ia tak menyangka perbuatan yang sekecil
itu berbuah manis bagi keluarganya. Sebenarnya
ia sudah melupakan dompet yang ia
temukan semnggu lalu. Baginya berbuat baik tidak perlu diingat.
Sejak
hari itu Salim tak terlambat lagi. Semua guru tersenyum melihat perubahan
Salim. Dengan penuh semangat Salim melaksanakan ujian dengan lancar.
Hari
kelulusan tiba, Salim dinyatakan lulus dengan peringkat pertama.
Hidup Salim Hidup Salim
semua temannya mengangkat tinggi tubuh Salim. Salim pun tertawa gembira karena
teman-temannya mengelu-elukannya. Selain itu, ia menerima hadiah dari sekolah.
Berkali-kali Salim mengucap syukur alhamdulilah. Impiannya tercapai. Tak lupa
ia mencium tangan ayahnya dan semua gurunya. Ayahnya menangis terharu.
“Salim nanti pulangnya bareng ibu saja ya, ibu pengen
main ke rumahmu,” ajak Bu Dian wali kelasnya ramah. Salim tak bisa menolak karena
bisa naik mobil gratis sampai di rumah. Berdua dengan ayahnya menuju mobil
putih mengkilat di parkiran. Ia agak heran karena mobil itu yang dipakai dua lelaki yang
menemuinya di pasar waktu itu.
“Ayo
Salim masuk,” ajak Bu Dian sambil membukakan pintu mobil lalu memperkenalkan
suaminya. Begitu masuk mobil, ia
terkesima dengan seseorang yang menyalaminya
“Lupa
ya Salim, ini Bapak yang kau tolong saat dompetku hilang seminggu lalu.
Bapak?
!
=== selesai ====
Ambarawa, 4 Mei 2014. dimuat di majalah MAHARDIKA edisi Mei 2014
Ambarawa, 4 Mei 2014. dimuat di majalah MAHARDIKA edisi Mei 2014